Ketiga, ketika berdakwah, seseorang harus menjauhi (meninggalkan) perbuatan dosa (QS Al-Muddassir: 5).
Keempat, jangan berdakwah dengan harapan mendapatkan balasan yang lebih banyak atau imbalan (QS Al-Muddassir: 6).
Ayat ini juga dijadikan dasar bagi para ulama yang melarang memberikan tarif dalam berdakwah.Â
Apakah ini artinya pendakwah tidak boleh menerima imbalan? Pastinya pendakwah boleh saja menerima imbalan. Yang tidak boleh adalah menentukan tarif atau mematok harga.
Hal yang sama terjadi dalam belajar. Keikhlasan seorang ustadz atau guru dalam mengajar harus diimbangi dengan keikhlasan juga oleh orang yang belajar. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya kepedulian bagi seseorang yang mengajarkan agama.
Jika seorang pengajar, ustadz atau guru, tidak diperhatikan, misalnya tidak diberi imbalan yang wajar, maka hal itu akan membuat keikhlasannya berkurang.
Kelima, ketika berdakwah harus bersabar (QS Al-Muddassir: 7). Imam Al-Ghazali membagi sabar menjadi tiga. Sabar ketika terkena musibah, sabar menghindari maksiat, dan sabar dalam ketaatan.
Sabar yang paling berat adalah sabar menghindari maksiat. Maksiat itu tidak mesti dalam bentuk dosa besar, seperti mencuri atau berzina.Â
Zaman sekarang, maksiat yang paling nyata adalah maksiat yang kita lakukan di media sosial. Misalnya memposting status yang tidak manfaat, menyebarluaskan berita bohong, atau melakukan ujaran kebencian.Â
Maksiat ini yang perlu dengan sabar kita hindari. Kita harus sabar menggerakkan jari kita dengan mengklik suatu yang tak berguna.
Ya, dakwah memang memerlukan kesabaran. Banyak orang menganalogikan dakwah dengan menabur benih ke dalam tanah. Jika kita ingin melihat benih-benih itu bertumbuhan, maka kita perlu memupuk, dan menyirami.Â