Baru-baru ini terbit Keputusan Presiden (Keppres) nomor 2 tahun 2022 tentang penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Banyak tanggapan dan kritikan kepada Keppres ini. Bukan terkait peristiwa yang terjadi, tetapi terkait tokoh dan siapa saja yang terlibat dan berperan besar dalam peristiwa bersejarah tersebut. Terkesan ada politisasi dari peristiwa sejarah yang sangat penting bagi bangsa Indonesia ini.
Serangan Umum 1 Maret 1949
Tanggal 1 Maret merujuk pada peristiwa sejarah serangan umum 1 Maret 1949, dimana saat itu Tentara Nasional Indonesia (TNI) didukung seluruh elemen kekuatan Republik Indonesia merebut kembali Yogyakarta yang diduduki Belanda. Yogyakarta adalah kota yang berkedudukan sebagai Ibu Kota Negara saat itu.Â
Yogyakarta diduduki Belanda setelah terjadi agresi militer Belanda II pada tanggal 19-20 Desember 1948. Dalam agresi militer tersebut, Belanda berhasil menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, beserta sejumlah menteri yang ada di kabinet pada saat itu. Hal ini menyebabkan Presiden harus memberikan mandat untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara.
Belanda, tidak hanya melakukan penyerangan secara fisik dengan melakukan agresi militer, tetapi juga melakukan propaganda-propaganda politis di PBB. Belanda mengatakan bahwa Pemerintahan Indonesia sudah lumpuh dengan jatuhnya Ibu Kota dan ditangkapnya para pemimpin negara.
Hal inilah yang menyebabkan TNI ingin melawan Belanda dan menunjukkan pada dunia bahwa Republik Indonesia dan TNI masih eksis dan terus berjuang mempertahankan kedaulatan negara. Maka terjadilah serangan umum 1 Maret 1949 yang sangat bersejarah itu.
Ada banyak tokoh, militer dan sipil, yang tercatat dalam sejarah berperan aktif dalam serangan umum 1 Maret 1949 ini. Sebut saja, Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Sudirman, AH Nasution, TB Simatupang, Bambang Soegeng, dan Soeharto.
Polemik Keppres
Untuk mengenang peristiwa ini, Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres tentang Hari Penegakkan Kedaulatan Negara yang ditandatangani pada tanggal 24 Februari 2022 yang lalu.
Ada beberapa polemik yang muncul dengan terbitnya Keppres ini. Bahkan beberapa ahli dan pengamat sejarah mengusulkan agar Keppres ini direvisi.
Polemik pertama terkait nama Soeharto, mantan Presiden Ke-2 RI yang hilang dari teks Keppres yang dikeluarkan.Â
Tak pelak, hal ini memicu kritik dari sebagian ahli sejarah. Mereka berpendapat bahwa peran Soeharto dalam serangan umum 1 Maret 1949 tak bisa dinafikan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Soeharto yang berpangkat Letnan Kolonel kala itu menjadi salah satu komandan yang memimpin pasukan menyerbu Yogyakarta.
Pemerintah menyanggah kritik tersebut dengan mengatakan bahwa Nama Soeharto tetap tercantum di naskah akademik Keppres ini. Bagi yang mendukung Keppres ini ada juga yang berpendapat bahwa ada yang perlu diluruskan tentang peran Soeharto pada serangan umum 1 Maret 1949 dari yang selama ini dipahami masyarakat.
Nama Soeharto sendiri memang bukan tanpa kontroversi. Ketika berkuasa, Soeharto dianggap telah mengubah sejarah dengan klaim bahwa dirinyalah yang telah mengambil inisiatif untuk menginisiasi serangan 1 Maret 1949. Kiranya itulah narasi yang bisa kita pahami dari apa yang telah terjadi pada orde baru.Â
Selama orde baru yang hampir 32 tahun lamanya, nama Soeharto selalu dielu-elukan dalam peristiwa serangan 1 Maret 1949 di dalam buku sejarah yang diajarkan ke anak-anak Indonesia. Bahkan disinyalir adanya kebenaran mutlak dalam cerita. Artinya cuma ada satu versi cerita yang benar dan versi cerita lainnya tidak pernah diakui. Rasanya, adagium yang mengatakan jika hanya ada satu versi sejarah, maka kemungkinan sejarah itu salah, sangat relevan dengan kondisi ini.
Polemik kedua adalah masuknya nama Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai pihak yang menyetujui dan menggerakkan serangan 1 Maret 1949.Â
Ahli sejarah mengatakan bahwa pada saat serangan terjadi, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta telah ditangkap oleh Belanda, bahkan ada yang mengatakan bahwa mereka dikerangkeng. Hal ini yang menjadi kontroversi karena tidak mungkin terjadi komunikasi antara Soekarno atau Mohammad Hatta dengan para komandan perang dalam kondisi seperti itu.
Polemik ketiga adalah nama Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang dianggap sebagai penggagas serangan 1 Maret 1949.Â
Terkait ini bermunculan beberapa versi sejarah. Ada beberapa nama yang muncul dan dianggap sebagai penggagas serangan seperti, Sjafruddin Prawiranegara yang merupakan pimpinan PDRI kala itu, ada juga nama Kolonel Bambang Sugeng yang menjabat sebagai gubernur militer daerah Yogyakarta, dan pastinya nama Soeharto yang begitu digembar-gemborkan di masa orde baru.
Ya, sejarah memang selalu memiliki beberapa versi. Seorang mafia Amerika Joseph Massino mengatakan bahwa selalu ada tiga cerita, yaitu cerita saya, cerita kamu, dan cerita yang benar. Terkadang, sulit memang untuk menentukan fakta sebenarnya pada sebuah peristiwa yang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Apalagi jika para pelaku sejarahnya sudah tidak ada, maka kita hanya bisa mengambil informasi dari sumber kedua atau bukti-bukti sejarah yang ada yang mungkin tidak lengkap dan komprehensif. Bahkan itu semua pun terkadang disalah tafsirkan.
Sebuah Refleksi
Jika kita membicarakan tokoh atau detail sebuah peristiwa sejarah, maka kita akan selalu dihadapkan pada perbedaan. Oleh karenanya, yang terbaik dari membaca sejarah adalah bagaimana kita bisa mengambil hikmah dari peristiwa sejarah yang terjadi.
Lantas, apa hikmah dari peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 ini?
Sebagai bangsa, banyak sekali hikmah yang bisa kita ambil dari peristiwa ini. Yang paling penting adalah bahwa bangsa kita ini bisa melahirkan tokoh-tokoh besar yang memiliki peran yang besar juga dalam perjuangan kemerdekaan.Â
Semua tokoh yang disebutkan terkait serangan umum 1 Maret 1949 masing-masing memiliki peran yang berbeda. Namun, walaupun peran mereka berbeda, tetapi mereka memiliki tujuan yang sama. Mereka menginginkan kedaulatan Indonesia dan ingin agar dunia mengakuinya.
Kedaulatan adalah hikmah lain yang bisa kita ambil. Peristiwa ini membuktikan bahwa negara kita mampu menjaga kedaulatannya. Keberanian berperang dan kemampuan berdiplomasi para tokoh pahlawan bangsa menjadi kunci kemenangan Indonesia.
Menjaga kedaulatan harus menjadi pelajaran bagi kita yang hidup di era polarisasi dunia yang begitu kental seperti saat ini. Polarisasi yang bisa membawa kepada Perang Dunia Ketiga. Genderang perang dunia ketiga telah dipukul Rusia dengan menginvasi Ukraina baru-baru ini. Kita sebagai negara harus siap menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi untuk menjaga kedaulatan negara kita.
Hikmah lainnya adalah persatuan dan kesatuan. Dalam serangan ini, kita bisa melihat bagaimana pemerintah, tentara, dan rakyat bersatu untuk melawan Belanda. Hasilnya sungguh mencengangkan, Yogyakarta bisa diduduki dalam waktu yang relatif singkat.
Dalam persatuan selalu ada kekuatan. Itu pula yang kita lihat saat ini di Ukraina. Persatuan dan kesatuan yang ditunjukkan rakyat Ukraina mampu menjaga kedaulatannya hingga hari ini. Padahal menurut rumor, Rusia menargetkan empat hari saja untuk menduduki Ibu Kota Ukraina Kiev.
Alhasil, sejarah memang harus bisa dijadikan acuan untuk menentukan langkah kita sekarang dan kedepannya. Masa lalu memang harus bisa dijadikan pedoman untuk masa kini dan masa depan. Dulu, harus menjadi pegangan untuk kini, dan kelak. Oleh karenanya kita tidak sepatutnya melupakan sejarah, karena inti dari peristiwa sejarah akan selalu berulang dengan tokoh dan bentuk peristiwa yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H