Tak terasa, bulan Ramadan telah memasuki sepuluh malam terakhir. Malam-malam rahmat dan maghfirah telah kita lewati. Kini kita memasuki fase akhir, malam-malam itqun minannar.
Ibarat lari marathon, fase akhir adalah fase yang sangat penting, fase di mana para pelari memaksimalkan larinya, menggunakan seluruh tenaganya untuk mencapai garis finish yang sudah di depan mata.
Begitu juga pada sepuluh malam terakhir Ramadan. Inilah waktunya kita mengencangkan ikat pinggang kita, fokus beribadah, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Distorsi 10 Malam Terakhir
Namun sayangnya, disaat kita seharusnya fokus beribadah, biasanya kita justru disibukkan dengan persiapan datangnya hari raya. Kita disibukkan dengan kegiatan mudik, membeli baju lebaran, atau bagi ibu-ibu sibuk belanja ke pasar, menyiapkan makanan dan kue lebaran.
Hal tersebut mau tak mau menguras waktu, tenaga, dan pikiran kita. Akhirnya, kita kelelahan dan kehabisan energi untuk bisa fokus beribadah.
Setiap tahun, para ustadz dan penceramah di masjid-masjid sering mengingatkan kita tentang hal ini. Ketika memasuki malam-malam akhir Ramadan, tak henti-hentinya mereka mengingatkan kita agar tidak terlena dengan kegiatan menyambut hari raya.
Namun, apa daya, nasihat tinggal nasihat, imbauan tinggal imbauan. Semua seolah menjadi formalitas belaka, masuk ke telinga kanan lalu keluar dari telinga kiri kita, dan kita pun lupa untuk menjalankannya.
Sebenarnya, hari raya itu hanyalah satu hari saja. Namun, kita terkadang terlalu berlebihan untuk mempersiapkannya. Kita terjebak pada euforia perayaannya. Padahal sejatinya, di hari raya kita seharusnya mengagungkan Allah SWT dengan bertasbih, bertahmid, dan bertakbir kepada-Nya Â
Ya, kita seolah kehilangan semangat Ramadan yang telah kita pupuk jauh-jauh hari sebelum bulan ini datang menghampiri kita. Benih semangat yang sejatinya sudah mulai kita tanam semenjak kita memasuki bulan Rajab, lalu kita sirami di bulan Syaban, seakan sirna begitu saja.
Kini, ketika saat-saat kita seharusnya disibukkan memanen hasil dari apa yang telah kita tanam, kita justru melupakannya. Padahal di sepuluh malam terakhir Ramadan ini, buah-buah ibadah kita seharusnya sudah mulai masak, siap untuk kita petik dan kita nikmati rasanya.
Ya, kenikmatan beribadah yang seharusnya kita dapatkan. Kenikmatan shalat malam, tadarus Al Quran, bershalawat, berzikir, berdoa, dan bersimpuh kepada-Nya di keheningan malam yang seharusnya kita rasakan.
Namun sayangnya, distorsi nafsu menghalangi kita mereguk kenikmatan beribadah di sepuluh malam terakhir Ramadan ini. Euforia kedatangan hari raya membuat kita lupa akan esensi Ramadan yang sesungguhnya.
Esensi Ramadan
Dengan sikap kita yang mengikuti hawa nafsu ini, apakah lantas kita benar-benar sudah kehilangan esensi Ramadan? Apakah ini menjadi pertanda bahwa amalan kita selama Ramadan tertolak?
Kiranya, terlalu berlebihan jika kita menjustifikasinya seperti itu. Esensi Ramadan tak hanya ada di sepuluh malam terakhirnya. Ditolak atau diterima amalan seseorang pun tak ada yang mengetahuinya.
Esensi Ramadan yang sesungguhnya baru bisa terlihat di sebelas bulan setelahnya. Disaat kita mampu menjadi insan yang lebih baik setelah Ramadan usai, sejatinya kita telah mendapatkan esensi Ramadan sesungguhnya.
Ya, sepuluh malam terakhir memang puncaknya. Ibarat turnamen, sepuluh malam terakhir adalah babak finalnya, babak yang sangat menentukan apakah kita akan meraih juara atau pulang dengan kegagalan.
Namun, kalah dan menangnya, berhasil dan gagalnya  kita di babak final ini tidak bisa kita ketahui secara langsung. Hal ini sangat tergantung dengan seberapa ikhlas kita menghidupkan malam-malam terakhir di bulan mulia ini.Â
Keikhlasan adanya di hati dan keikhlasan tak bisa diukur dengan kasat mata. Keikhlasan sejati hanya bisa diusahakan dengan penuh kesungguhan hati dalam beribadah.
Meskipun kita tak bisa sungguh-sungguh menghidupkan sepuluh malam terakhir ini, tidak berarti bahwa kita tidak akan mendapatkan esensi Ramadan, tidak berarti bahwa amalan kita di bulan ini akan tertolak.
Begitu banyak hidangan yang diberikan Allah SWT di bulan mulia ini. Bagaimanapun keadaannya, bagi mereka yang telah berusaha dengan kesungguhan hati pastinya akan mendapatkan keberkahannya.
Mudik, membeli baju baru, membuat makanan, dan kue lebaran pun bisa bernilai ibadah yang berlipat pahalanya di bulan yang suci ini. Asalkan semua itu bisa dilakukan dengan kesungguhan hati, dengan niat yang benar, niat untuk melakukan kebaikan kepada orangtua, sanak, dan saudara kita.
Namun, ini tidak berarti bahwa itu semua bisa dijadikan alasan untuk menghiraukan sepuluh malam terakhir Ramadan. Allah SWT Mahatahu apa niat yang ada di dalam hati kita yang sebenarnya. Jika niat kita tulus dan ikhlas, maka Allah SWT akan mengganjarnya dengan ganjaran yang setimpal.
Idealnya, sepuluh malam terakhir memang seharusnya dijadikan sebagai malam-malam istimewa bagi kita yang melaksanakan ibadah puasa. Malam-malam ini seharusnya bisa membawa kita kepada fitrah sehingga bisa terlahir kembali ketika bulan Ramadan telah berakhir. Inilah langkah awal merengkuh esensi Ramadan yang sesungguhnya.Â
Alhasil, sepuluh malam terakhir terlalu berharga untuk dilewatkan. Distorsi yang mungkin bisa kita hadapi di penghujung bulan Ramadan ini seharusnya tidak menghalangi kita untuk mendapatkan keberkahannya.Â
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita bisa meraih esensi Ramadan. Esensi yang akan membimbing kita menjalani kehidupan lebih bermakna. Semoga kita semua bisa meraih keberkahan di bulan yang mulia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H