Ya, kenikmatan beribadah yang seharusnya kita dapatkan. Kenikmatan shalat malam, tadarus Al Quran, bershalawat, berzikir, berdoa, dan bersimpuh kepada-Nya di keheningan malam yang seharusnya kita rasakan.
Namun sayangnya, distorsi nafsu menghalangi kita mereguk kenikmatan beribadah di sepuluh malam terakhir Ramadan ini. Euforia kedatangan hari raya membuat kita lupa akan esensi Ramadan yang sesungguhnya.
Esensi Ramadan
Dengan sikap kita yang mengikuti hawa nafsu ini, apakah lantas kita benar-benar sudah kehilangan esensi Ramadan? Apakah ini menjadi pertanda bahwa amalan kita selama Ramadan tertolak?
Kiranya, terlalu berlebihan jika kita menjustifikasinya seperti itu. Esensi Ramadan tak hanya ada di sepuluh malam terakhirnya. Ditolak atau diterima amalan seseorang pun tak ada yang mengetahuinya.
Esensi Ramadan yang sesungguhnya baru bisa terlihat di sebelas bulan setelahnya. Disaat kita mampu menjadi insan yang lebih baik setelah Ramadan usai, sejatinya kita telah mendapatkan esensi Ramadan sesungguhnya.
Ya, sepuluh malam terakhir memang puncaknya. Ibarat turnamen, sepuluh malam terakhir adalah babak finalnya, babak yang sangat menentukan apakah kita akan meraih juara atau pulang dengan kegagalan.
Namun, kalah dan menangnya, berhasil dan gagalnya  kita di babak final ini tidak bisa kita ketahui secara langsung. Hal ini sangat tergantung dengan seberapa ikhlas kita menghidupkan malam-malam terakhir di bulan mulia ini.Â
Keikhlasan adanya di hati dan keikhlasan tak bisa diukur dengan kasat mata. Keikhlasan sejati hanya bisa diusahakan dengan penuh kesungguhan hati dalam beribadah.
Meskipun kita tak bisa sungguh-sungguh menghidupkan sepuluh malam terakhir ini, tidak berarti bahwa kita tidak akan mendapatkan esensi Ramadan, tidak berarti bahwa amalan kita di bulan ini akan tertolak.
Begitu banyak hidangan yang diberikan Allah SWT di bulan mulia ini. Bagaimanapun keadaannya, bagi mereka yang telah berusaha dengan kesungguhan hati pastinya akan mendapatkan keberkahannya.