Apa khas Ramadan yang Anda rindukan? Jawabannya pasti akan sangat beragam, karena semua orang mempunyai kenangan tersendiri dalam mengisi bulan suci ini.
Pertanyaan ini pun bisa dijawab dari berbagai sisi. Misalnya, bisa saja dijawab dari sisi fisiknya, seperti rindu makanan atau minuman khas Ramadan, yang memang tidak bisa kita temui di bulan lain.
Atau, bisa juga dari sisi momen khas yang dirindukan. Misalnya momen buka puasa, shalat tarawih berjamaah, bangun makan sahur, atau kegiatan-kegiatan khas Ramadan lainnya.Â
Momen-momen itu memang selalu memberikan kenangan yang dirindukan. Bagaimana dengan Anda?Â
Kue Abuk
Kalau saya sangat merindukan makanan khas kampungku yang hanya dibuat di bulan Ramadan. Bukan hanya khas di bulan Ramadan, makanan ini juga khas hanya dibuat di malam ke-27 Ramadan.
Makanan ini bernama "Kue abuk" khas betawi. Kue ini adalah kue yang melegenda bagi orang betawi. Hampir semua orang betawi mengenal kue ini.
Kue abuk ini dibuat dengan cara dikukus. Bahan dasar pembuatan kue abuk termasuk mudah dicari. Tepung ketan, parutan kelapa, dan gula merah ada dimana-mana dan bisa ditemukan dengan mudah.
Kue abuk dibungkus dengan daun pisang dan dibentuk menjadi bentuk yang unik. Kue ini memiliki tekstur yang lembut dan empuk dengan rasa manis legit yang mengugah selera.
Sepintas, kue ini mirip dengan kue putu ataupun kue awug asal Bandung. Rasanya sangat mirip, namun bahan dasar, bentuk, dan cara pembuatannya yang sedikit berbeda.
Sebenarnya, kue abuk ini bisa dibuat kapan saja. Entah mengapa di kampungku, kita hanya bisa menemukan kue abuk di tanggal 27 Ramadan.Â
Hal ini yang membuat kue ini begitu dirindukan. Baru pada tanggal 27 Ramadan kue ini dibuat. Pada hari itu, hampir semua rumah di kampungku membuat kue ini.Â
Ibu-ibu pun membawa kue yang mereka buat ke masjid ketika berangkat shalat tarawih. Setelah tarawih, kue abuk menjadi penganan menemani jamaah yang ingin menghidupkan malam Ramadan dengan berbagai macam ibadah.
Ada anekdot lucu terkait kue abuk ini. Saking inginnya mencicipi kue abuk setelah shalat tarawih, konon katanya anak-anak mengucapkan suara amin ketika berdoa disamarkan dengan suara abuk.
Meskipun ini hanya anekdot, namun ada makna di dalamnya. Bagiku, ini merupakan ucapan syukur anak-anak akan rezeki kue abuk yang akan segera mereka dapatkan selepasa shalat tarawih.
Simbol Rasa Syukur
Bukankah rasa syukur menjadi salah satu hikmah puasa Ramadan?Â
Ya, di bulan Ramadan kita akan sangat merasakan betapa nikmatnya segelas air putih dalam kehidupan kita. Di bulan ini juga, kita menyadari betapa baiknya Tuhan kepada kita.Â
Tuhan tidak membiarkan kita haus dan lapar. Tuhan selalu memberikan rezekinya kepada kita, tanpa pernah bosan. Rezeki yang tidak pernah kita duga-duga darimana datangnya.Â
Oleh karenanya, jika kita renungi, apakah elok jika kita tidak bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita hamba-Nya?
Ya, kue abuk adalah simbol rasa syukur kita sebagai hamba. Menurut para tokoh masyarakat pun, kue abuk memang sangat relevan dengan rasa syukur.Â
Rasa syukur karena telah memasuki fase akhir Ramadan. Oleh karenanya, di kampungku kue ini hanya bisa ditemukan di malam ke-27 Ramadan.Â
Sebenarnya dalam tradisi betawi, kue abuk ini tidak hanya dibuat di malam ke-27 Ramadan. Dilansir dari laman encyclopedia.jakarta-tourism.go.id, kue abuk ini menjadi sajian istimewa di sepertiga bulan Ramadan. Sepertiga malam akhir Ramadan dikenal dengan malam ketupat.Â
Di malam-malam ganjilnya ada juga yang menyebutnya malam likuran. Tradisi ini biasa dilakukan pada  tanggal 17, 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadhan.Â
Pada malam-malam itu masyarakat Betawi yang lekat dengan ajaran Islam meyakini sebagai malam saat turunnya lailatul qadar.
Di kampungku, alasan mengapa hal ini hanya dilakukan di malam ke-27, mungkin karena ada sebagian ulama yang meyakini bahwa malam lailatul qadar itu jatuh pada tanggal 27 Ramadan.
Sebuah Kerinduan
Ya, inilah yang kurindukan dari bulan Ramadan. Namun, terlepas dari itu, yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita seharusnya merindukan esensi dari bulan Ramadan itu sendiri.
Ramadan tidak hanya dirindukan dari hal-hal fisiknya saja, atau momen-momen yang ada di dalamnya.Â
Ramadan seharusnya dirindukan sebagai bulan yang dipenuhi dengan keberkahan di setiap penggalan waktu yang kita lewati di dalamnya. Bulan tempat kita menempa diri, melatih diri agar menjadi insan yang lebih baik di sebelas bulan kemudian.
Ketika kita memahami ini, maka semua hal yang ada di bulan Ramadan akan selalu kita rindukan. Seperti halnya saya merindukan kue abuk ini.
Alhasil, kerinduan menunjukkan rasa cinta yang dalam. Setiap yang merindu pasti akan berusaha sebisa mungkin menggapai apa yang dirindukannya. Oleh karenanya, mari kita gapai rindu kita pada sultannya para bulan, bulan Ramadan yang kita rindukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H