Di malam-malam ganjilnya ada juga yang menyebutnya malam likuran. Tradisi ini biasa dilakukan pada  tanggal 17, 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadhan.Â
Pada malam-malam itu masyarakat Betawi yang lekat dengan ajaran Islam meyakini sebagai malam saat turunnya lailatul qadar.
Di kampungku, alasan mengapa hal ini hanya dilakukan di malam ke-27, mungkin karena ada sebagian ulama yang meyakini bahwa malam lailatul qadar itu jatuh pada tanggal 27 Ramadan.
Sebuah Kerinduan
Ya, inilah yang kurindukan dari bulan Ramadan. Namun, terlepas dari itu, yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita seharusnya merindukan esensi dari bulan Ramadan itu sendiri.
Ramadan tidak hanya dirindukan dari hal-hal fisiknya saja, atau momen-momen yang ada di dalamnya.Â
Ramadan seharusnya dirindukan sebagai bulan yang dipenuhi dengan keberkahan di setiap penggalan waktu yang kita lewati di dalamnya. Bulan tempat kita menempa diri, melatih diri agar menjadi insan yang lebih baik di sebelas bulan kemudian.
Ketika kita memahami ini, maka semua hal yang ada di bulan Ramadan akan selalu kita rindukan. Seperti halnya saya merindukan kue abuk ini.
Alhasil, kerinduan menunjukkan rasa cinta yang dalam. Setiap yang merindu pasti akan berusaha sebisa mungkin menggapai apa yang dirindukannya. Oleh karenanya, mari kita gapai rindu kita pada sultannya para bulan, bulan Ramadan yang kita rindukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H