Di awal ketika ingin menulis sebaiknya penulis tidak memikirkan terlebih dahulu baik buruknya sebuah karya tulis. Baik dan buruknya karya tulis sangatlah bersifat subjektif. Oleh karena itu, jika seseorang ingin mengetahui bagaimana kualitas tulisannya, maka ia perlu mengeluarkan karyanya, ia perlu menunjukkan karyanya kepada orang lain. Dalam hal ini, seorang penulis sejatinya tidak perlu malu dengan hasil karyanya. Inilah malu yang terlarang dalam dunia kepenulisan.
Kritikan dan masukan perlu diminta dari para pembaca. Meskipun kritikan dan masukan terkadang terasa pahit, seorang penulis harus menjadikannya sebagai obat. Meskipun pahit, obat justru akan membantunya menjadi lebih baik. Jadi, malu untuk menulis, malu untuk mengeluarkan karya, justru bisa menjadi penghalang diri kita untuk menulis atau konsisten dalam menulis, dan akhirnya malu menjadi seorang penulis.
Sisi Lain Malu Jadi Penulis
Di sisi yang lain, pemahaman malu menjadi seorang penulis juga perlu dikedepankan. Pernyataan ini terkesan kontradiktif dengan apa yang sudah kita simpulkan. Di bagian atas sudah kita pahami bahwa seharusnya kita tidak malu untuk konsisten menulis dan menjadi penulis, dan juga tidak mula untuk mengeluarkan karya kita untuk dibaca orang lain. Lantas, malu yang seperti apa yang perlu dikedepankan?Â
Ya, malu yang saya maksud disini adalah malu yang sejalan dengan pernyataan rekan saya yang saya kutip diatas. Jika rekan saya itu menggunakan kata malu untuk melecutkan dirinya untuk lebih konsisten menulis, maka kata "malu" bagi seorang penulis semestinya memiliki makna malu akan seberapa konsisten ia bisa melakukan atau mengaplikasikan apa yang ia telah tuliskan dalam kehidupannya.
Bukankah karya tulis itu cerminan dari penulisnya? Bukankah tulisan itu ibarat perkataan yang keluar dari si penulis? Ini berarti, jika penulis menuliskan sebuah kebaikan, bukankah semestinya ia juga melakukan kebaikan yang dituliskannya itu?
Inilah konsekuensi berat yang harus dihadapi seorang penulis. Inilah tanggung jawab moral yang terkadang menjadi beban tersendiri bagi penulis. Melakukan suatu kebaikan pastinya tak seringan dan semudah ketika menuliskannya. Merangkai kata memang mudah, tetapi mengubahnya menjadi sebuah pergerakan positif membutuhkan daya dan upaya yang tak ringan. Belum lagi jika kita memikirkan kekonsistenan untuk melakukanya.
Sebuah Refleksi
Bagi saya, menulis sejatinya adalah menasehati diri sendiri. Ketika menulis, kita akan menyadari kekurangan diri kita. Seolah kita sedang berbicara kepada nafsu kita sendiri. Menulis juga dapat memotivasi diri saya untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Menulis dapat mengaktifkan nalar dan pikiran saya untuk selalu berpikir positif dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa dalam kehidupan.
Ya, tak mudah memang untuk menulis. Terkadang begitu berat jari-jemari menuliskan sesuatu yang kita belum tentu mampu melakukannya. Ada rasa malu. Malu kepada diri sendiri, malu kepada keluarga, malu kepada orang-orang sekitar, dan malu kepada Tuhan.Â
Alhasil, rasa malu ini sejatinya menjadi sebuah harapan untuk kita untuk bisa terus memperbaiki diri, bukan justru jatuh merunduk tak berdaya. Menghadirkan rasa malu seperti ini sejatinya bisa menjadikan manusia untuk lebih dekat kepada Tuhannya. Begitulah sebaiknya seorang penulis memaknai arti rasa malu menjadi seorang penulis. Bukan rasa malu yang justru akan membuat penulis tertahan untuk bisa menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan. Yakinlah bahwa menulis adalah salah satu bentuk rasa syukur atas nikmat ilmu yang telah diberikan Tuhan kepada kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H