Apakah kita harus malu menjadi seorang penulis? Atau, apakah kita malu tak mampu konsisten menulis sehingga tak jadi seorang penulis? Itu pertanyaan yang menggelitik di kepala saya setelah mendengar komentar seorang rekan ketika mendengar terbitnya sebuah buku sebagai buah karya tulis seseorang.
Kala itu, ia berkomentar, "Malu saya yang sudah bergelar doktor belum bisa menghasilkan karya." Perkataan ini terdengar tulus, walaupun saya tak bisa merasakan dan mengukur seberapa tulus ia mengucapkannya, tetapi bagi saya perkataan itu tetap saja sangat berharga untuk bisa direnungi.
Renungan Malu Jadi Penulis
Jika kita renungi, perkataan rekan saya itu sangat mendalam maknanya. Kata malu yang ia gunakan terasa begitu berbeda dalam benak saya. Sebenarnya, dalam KBBI, kata "malu" itu bisa berbentuk seabagai kata sifat dan juga kata benda. Secara umum, kata ini memiliki padanan katanya yang cenderung bermakna negatif, seperti perasaan hina, perasaan rendah diri, nama buruk, dan bisa juga diartikan sebagai aib dan noda.
Namun, saya menangkap hal yang berbeda dari ucapan rekan saya itu. Seolah dengan mengatakan dirinya malu, sebenarnya ia sedang melakukan sebuah refleksi diri. Seolah ia sedang bertanya kepada dirinya sendiri, mengapa saya tidak bisa melakukannya? Mengapa saya tak bisa konsisten dalam menulis?
Jika kita pikir lebih dalam, kata "malu" bisa saja kita maknai berbeda. Perasaan malu bisa saja berarti bahwa sebenarnya kita bisa melakukan sesuatu, tetapi sayangnya kita belum mampu mewujudkannya. Belum mampu berbeda dengan tidak mampu. Belum mampu menunjukkan adanya motivasi besar dalam diri untuk bisa mampu. Ketika kita berpikir seperti ini, maka rasa malu bisa menjadi cambuk lecutan bagi seseorang untuk bisa melakukan sesuatu yang lebih baik, menjadikan belum mampu menjadi mampu.
Dalam konteks menulis, rasanya hal ini sangat relevan. Sejatinya, hampir setiap orang yang pernah belajar baca dan tulis, pastinya akan memiliki kemampuan menulis. Menulis dalam artian bisa menuangkan ide, gagasan, dan pikirannya ke dalam sebuah tulisan. Bukankah dari semenjak duduk di bangku sekolah dasar (SD) kita sudah diajarkan untuk menulis karangan?Â
Saya teringat dulu ketika duduk di bangku SD, setiap ada ujian pelajaran Bahasa Indonesia, di bagian akhir pasti terdapat ujian mengarang dengan berbagai topiknya. Ketika kuliah pun sama. Kala itu, di perguruan tinggi tempat saya menuntut ilmu ada mata kuliah wajib menulis akademik. Meskipun saya kuliah di jurusan sains, tetap saja harus memiliki kemampuan menulis akademik.
Terkait menulis, permasalahannya adalah seberapa konsisten kita menulis sehingga bisa menghasilkan sebuah karya tulis. Gelar penulis sebenarnya merujuk pada hal ini. Gelar yang menunjukkan kekonsistenan seseorang dalam menulis, bukan dilihat dari kualitas baik atau tidaknya hasil karya tulisnya. Hal ini saya pelajari ketika saya mengikuti platform blog menulis. Pada platform blog menulis, biasanya para penulis aktif menekadkan dirinya untuk bisa menulis harian. Mereka menyebutnya dengan motto "One Day One Article."Â
Begitu juga ketika saya mengikuti workshop kepenulisan yang mengundang para penulis kondang. Mereka semua menyarankan peserta untuk menulis berkelanjutan. Jika tak mendapatkan ide menulis, maka tuliskan bahwa kita tidak mendapatkan ide menulis menjadi sebuah ide untuk dituliskan.
Meskipun sudah pastinya kualitas juga penting untuk menunjukkan bahwa penulis itu mampu atau tidak menulis dengan baik, tetapi hal itu bukanlah yang utama. Menulis yang baik bisa saja dilatih dan dipelajari. Yang utama adalah konsistensi untuk terus berpikir dan menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan.
Di awal ketika ingin menulis sebaiknya penulis tidak memikirkan terlebih dahulu baik buruknya sebuah karya tulis. Baik dan buruknya karya tulis sangatlah bersifat subjektif. Oleh karena itu, jika seseorang ingin mengetahui bagaimana kualitas tulisannya, maka ia perlu mengeluarkan karyanya, ia perlu menunjukkan karyanya kepada orang lain. Dalam hal ini, seorang penulis sejatinya tidak perlu malu dengan hasil karyanya. Inilah malu yang terlarang dalam dunia kepenulisan.
Kritikan dan masukan perlu diminta dari para pembaca. Meskipun kritikan dan masukan terkadang terasa pahit, seorang penulis harus menjadikannya sebagai obat. Meskipun pahit, obat justru akan membantunya menjadi lebih baik. Jadi, malu untuk menulis, malu untuk mengeluarkan karya, justru bisa menjadi penghalang diri kita untuk menulis atau konsisten dalam menulis, dan akhirnya malu menjadi seorang penulis.
Sisi Lain Malu Jadi Penulis
Di sisi yang lain, pemahaman malu menjadi seorang penulis juga perlu dikedepankan. Pernyataan ini terkesan kontradiktif dengan apa yang sudah kita simpulkan. Di bagian atas sudah kita pahami bahwa seharusnya kita tidak malu untuk konsisten menulis dan menjadi penulis, dan juga tidak mula untuk mengeluarkan karya kita untuk dibaca orang lain. Lantas, malu yang seperti apa yang perlu dikedepankan?Â
Ya, malu yang saya maksud disini adalah malu yang sejalan dengan pernyataan rekan saya yang saya kutip diatas. Jika rekan saya itu menggunakan kata malu untuk melecutkan dirinya untuk lebih konsisten menulis, maka kata "malu" bagi seorang penulis semestinya memiliki makna malu akan seberapa konsisten ia bisa melakukan atau mengaplikasikan apa yang ia telah tuliskan dalam kehidupannya.
Bukankah karya tulis itu cerminan dari penulisnya? Bukankah tulisan itu ibarat perkataan yang keluar dari si penulis? Ini berarti, jika penulis menuliskan sebuah kebaikan, bukankah semestinya ia juga melakukan kebaikan yang dituliskannya itu?
Inilah konsekuensi berat yang harus dihadapi seorang penulis. Inilah tanggung jawab moral yang terkadang menjadi beban tersendiri bagi penulis. Melakukan suatu kebaikan pastinya tak seringan dan semudah ketika menuliskannya. Merangkai kata memang mudah, tetapi mengubahnya menjadi sebuah pergerakan positif membutuhkan daya dan upaya yang tak ringan. Belum lagi jika kita memikirkan kekonsistenan untuk melakukanya.
Sebuah Refleksi
Bagi saya, menulis sejatinya adalah menasehati diri sendiri. Ketika menulis, kita akan menyadari kekurangan diri kita. Seolah kita sedang berbicara kepada nafsu kita sendiri. Menulis juga dapat memotivasi diri saya untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Menulis dapat mengaktifkan nalar dan pikiran saya untuk selalu berpikir positif dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa dalam kehidupan.
Ya, tak mudah memang untuk menulis. Terkadang begitu berat jari-jemari menuliskan sesuatu yang kita belum tentu mampu melakukannya. Ada rasa malu. Malu kepada diri sendiri, malu kepada keluarga, malu kepada orang-orang sekitar, dan malu kepada Tuhan.Â
Alhasil, rasa malu ini sejatinya menjadi sebuah harapan untuk kita untuk bisa terus memperbaiki diri, bukan justru jatuh merunduk tak berdaya. Menghadirkan rasa malu seperti ini sejatinya bisa menjadikan manusia untuk lebih dekat kepada Tuhannya. Begitulah sebaiknya seorang penulis memaknai arti rasa malu menjadi seorang penulis. Bukan rasa malu yang justru akan membuat penulis tertahan untuk bisa menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan. Yakinlah bahwa menulis adalah salah satu bentuk rasa syukur atas nikmat ilmu yang telah diberikan Tuhan kepada kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H