"We make a living by what we get, we make a life by what we give (Kita hidup dari apa yang kita dapatkan, kita membuat kehidupan dari apa yang kita berikan)," itulah perkataan Whinston Churchill mantan Perdana Menteri Britania Raya di era perang dunia ke-2.
Apa yang dikatakan Whinston Churchill ini memiliki makna yang dalam. Ada dimensi membantu dan berbagi kepada sesama, terutama kepada yang membutuhkan. Menurut saya, penggunaan istilah make a life adalah makna inti dari perkataannya itu.
Make a life
Ya, make a life atau membuat kehidupan merupakan hal penting yang perlu dilakukan. Manusia yang diberikan berbagai macam kenikmatan oleh Tuhan diwajibkan untuk berbagi kepada orang lain yang membutuhkan. Dalam agama dikatakan bahwa dalam setiap nikmat yang diberikan Tuhan, ada hak orang lain di dalamnya, hak orang yang membutuhkan.Â
Misalnya, ketika kita makan, seharusnya kita bisa memikirkan saudara kita yang mungkin masih kelaparan dan sulit mendapatkan makanan. Sejatinya, ada hak mereka juga dalam makanan yang kita makan.
Sebenarnya, membantu orang lain itu seolah telah menjadi undangan yang cukup berharga bagi kita untuk bisa mendapatkan pertolongan Tuhan. Ketika kita menolong orang lain, maka Tuhan tidak akan membiarkan kita hidup tanpa pertolongan. Pasti akan ada tangan yang mengulurkan bantuannya juga kepada kita sebagai balasan atas bantuan yang telah kita berikan.
Di sisi lain, membantu dan berbagi tidak hanya bisa dilihat pada manusia. Kita bisa juga mengambil contoh indahnya berbagi dari berbagai macam entitas yang diciptakan Tuhan kepada kita di dunia.
Misalnya, dalam ilmu Kimia kita mengenal unsur oksigen yang penting dalam sistem pernapasan kita. Dua atom oksigen saling berbagi elektron membentuk sebuah ikatan kovalen sehingga mereka menjadi molekul yang sangat bermanfaat dalam kehidupan.
Contoh lain, dalam ilmu Biologi kita mengenal hubungan ikan hiu dan ikan remora yang memiliki hubungan komensalisme. Ikan hiu rela diikuti oleh ikan remora agar ikan remora aman dari pemangsa dan mendapat sisa makanan darinya. Ketika melakukannya, ikan hiu tidak mendapat keuntungan sedikitpun. Ikan hiu hanya ingin berbagi tanpa mengharapkan pamrih dari ikan remora.
Saling Membantu dan Berbagi
Jika makhluk selain manusia pun saling berbagi untuk menghidupkan atau bermanfaat untuk yang lain, masihkah kita berdiam diri dan tidak tergerak untuk saling membantu dan berbagi?
Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk bisa saling membantu dan berbagi. Berbagai macam alternatif cara bisa dilakukan. Ide kreatif untuk menggalang bantuan bagi yang membutuhkan bisa dipikirkan bersama.
Namun sayangnya, kebanyakan kita terlalu fokus untuk memikirkan bantuan yang bersifat fisik, jasmani, dan materiil. Padahal manusia juga membutuhkan bantuan yang bersifat psikis, rohani, dan moril.
Sudah saatnya kini kita bisa merubah paradigma berpikir yang kita punya. Di zaman yang semakin tak menentu ini, masyarakat mungkin lebih banyak memerlukan bantuan yang berorientasi kepada ukhrawi daripada yang bersifat duniawi.
Misalnya saja, degradasi moral dan penurunan akhlak yang masif terjadi, memerlukan orang-orang yang mau membimbing, mengarahkan, dan memberikan bantuan moril kepada generasi muda yang ada saat ini.
Uluran tangan jiwa-jiwa berdedikasi sangat diperlukan saat ini. Sudah tentunya, ketika mereka mencoba membantu generasi kekinian ini, hal-hal terkait dengan keduniawian juga tak boleh dinihilkan. Intelektualitas dan cara berpikir terhadap ilmu-ilmu positif seharusnya tetap bisa diajarkan dan hal itu seharusnya bisa berjalan selaras dengan pengembangan pendidikan karakternya.
Keikhlasan dalam Membantu
Pertanyaannya, sudahkah kita melakukannya? Jika sudah, apakah kita melakukannya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan?
Ya, ketika melakukannya terkadang kita terjerembab ke dalam kubangan popularitas, mencari manfaat pribadi. Ketika ini terjadi, maka kebaikan yang kita lakukan hanya menjadi sebuah pertunjukkan belaka, kosong tanpa memiliki makna dan ruh di dalamnya. Jauh dari nilai keikhlasan.
Bahkan hal tersebut bisa menjadi sebuah madu yang beracun bagi jiwa kita. Terasa manis, tetapi bisa membunuh jiwa dan karakter dalam diri kita.Â
Tak selesai sampai disitu, lebih jauh lagi hal itu juga bisa menjadi virus yang mematikan. Kita tahu, virus tak hanya membahayakan bagi diri sendiri, tetapi virus juga bisa menular, memberikan efek buruk kepada orang lain.
Sayangnya, mencari popularitas dan manfaat tidak hanya terjadi pada diri sendiri. Hal ini juga bisa terjadi pada sebuah kelompok, yang menyebabkan timbulnya ego kelompok.
Pemberian bantuan atas nama kelompok ini dan itu, organisasi ini dan itu, partai ini dan itu, sering terjadi dan sangat rentan untuk disalahgunakan.Â
Akhirnya, terjadi persaingan antar kelompok. Persaingan yang tidak sehat akan menyebabkan konflik yang justru bisa membahayakan. Hal ini menyebabkan tujuan utama untuk membantu bisa saja terlupakan.
Padahal, jika kelompok yang berbeda-beda tersebut bisa bersatu, duduk bersama, menentukan tujuan dan pemikiran bersama, bergerak bersama dengan mengesampingkan kepentingan kelompok dan golongannya, maka akan terbentuk sebuah potensi yang sangat besar untuk bisa memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Inilah yang seharusnya kita lakukan.
Hal ini juga yang coba dilakukan oleh ulama dan cendekiawan Muhammad Fethullah Gulen Hojaefendi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam membantu dan berbagi, mereka memiliki prinsip yang sedikit berbeda dengan perkataan Whinston Churchill yang saya kutip di atas, tetapi sebenarnya keduanya memiliki makna yang sama .
Prinsip yang mereka anut adalah hidup untuk menghidupi orang lain. Prinsip ini diambil dari prinsip isar dalam agama, atau juga prinsip altruisme dalam filsafat. Maknanya adalah melakukan sesuatu untuk orang lain dengan mengorbankan diri sendiri. Hanya orang-orang yang berjiwa besar yang akan memahami prinsip ini, bukan bagi mereka yang berpikiran materialis yang hanya mementingkan keduniawian.
Alhasil, ketika kita membantu dan berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan terkadang juga membutuhkan pengorbanan dalam diri kita. Baik pengorbanan tenaga, waktu, harta, maupun pemikiran.
Namun, jika kita memahami makna yang dalam dari pengorbanan tersebut dan kita melakukannya dengan mengedepankan perasaan, maka pengorbanan tersebut akan terasa nikmat yang membuat kita mau terus menerus melakukannya.
[Baca Juga: Kampus Baru, Hidup Baru, Menuju Kebaruan di Rumah Belajar]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H