Padahal, jika kelompok yang berbeda-beda tersebut bisa bersatu, duduk bersama, menentukan tujuan dan pemikiran bersama, bergerak bersama dengan mengesampingkan kepentingan kelompok dan golongannya, maka akan terbentuk sebuah potensi yang sangat besar untuk bisa memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Inilah yang seharusnya kita lakukan.
Hal ini juga yang coba dilakukan oleh ulama dan cendekiawan Muhammad Fethullah Gulen Hojaefendi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam membantu dan berbagi, mereka memiliki prinsip yang sedikit berbeda dengan perkataan Whinston Churchill yang saya kutip di atas, tetapi sebenarnya keduanya memiliki makna yang sama .
Prinsip yang mereka anut adalah hidup untuk menghidupi orang lain. Prinsip ini diambil dari prinsip isar dalam agama, atau juga prinsip altruisme dalam filsafat. Maknanya adalah melakukan sesuatu untuk orang lain dengan mengorbankan diri sendiri. Hanya orang-orang yang berjiwa besar yang akan memahami prinsip ini, bukan bagi mereka yang berpikiran materialis yang hanya mementingkan keduniawian.
Alhasil, ketika kita membantu dan berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan terkadang juga membutuhkan pengorbanan dalam diri kita. Baik pengorbanan tenaga, waktu, harta, maupun pemikiran.
Namun, jika kita memahami makna yang dalam dari pengorbanan tersebut dan kita melakukannya dengan mengedepankan perasaan, maka pengorbanan tersebut akan terasa nikmat yang membuat kita mau terus menerus melakukannya.
[Baca Juga: Kampus Baru, Hidup Baru, Menuju Kebaruan di Rumah Belajar]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H