Dari definisi ini, istikamah diartikan sebagai sebuah sikap yang harus ada pada diri seseorang. Biasanya, sikap itu diasosiasikan dengan sesuatu yang berhubungan dengan hal fisik, sesuatu yang bisa terlihat oleh kasat mata.
Namun sebenarnya, istikamah bukan hanya sekedar pekerjaan fisik, tetapi ada dimensi kalbu di dalamnya. Ulama dan cendekiawan Muhammad Fethullah Gulen Hojaefendi dalam artikel yang ditulisnya di Majalah Mata Air menyebutnya dengan istilah "Keistikamahan Kalbu."
Mengutip tulisan Hojaefendi pada artikel tersebut, "Manusia memang membutuhkan air, udara, dan berbagai kenikmatan materi lainnya, namun sejatinya mereka lebih membutuhkan keistikamahan ruhani dan nutrisi jiwa baginya."[1]
Alhasil, jika apel memiliki nutrisi jasmani bagi fisik manusia, maka membaca memiliki nutrisi ruhani bagi jiwa manusia. Untuk menjaga keseimbangan nutrisi jasmani dan ruhani, keduanya harus dibiasakan dan dilakukan secara rutin .Â
Sudah pastinya, membaca bukan asal membaca. Perlu dipikirkan juga bahan bacaan yang baik. Bahan bacaan yang bisa membangkitkan literasi positif pada generasi agar bisa menjadi generasi emas yang kita dambakan.
Referensi:
[1] Gulen, Muhammad Fethullah. 2020. "Keistikamahan Kalbu" dalam Majalah Mata Air Vol.7 No.28 (hlm. 4-7). Jakarta: PT Ufuk Baru.Â
[Baca Juga: Bukan Mengkritik Pemerintah]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H