Diskursus ini dipicu pernyataan Presiden Jokowi yang meminta masyarakat untuk aktif dalam menyampaikan sejumlah kritik kepada pemerintah. Hal itu disampaikan Presiden Jokowi pada acara peluncuran laporan tahunan Ombudsman RI tahun 2020 (Senin, 8/2/2021).
Sontak saja pernyataan ini menuai berbagai macam tanggapan dan reaksi. Dari mulai netizen, pengamat politik, dan pejabat negara ramai-ramai mengomentari. Ada yang mendukung pernyataan tersebut, tak sedikit juga yang mempertanyakan pernyataan tersebut.
Bagi yang mendukung, argumennya memang sudah sangat jelas bahwa dalam demokrasi kritik memang diperlukan. Namun bagi yang mempertanyakan, mereka melihat bahwa pernyataan ini seolah inkonsisten dengan realitas yang terjadi.
Akhir-akhir ini, ada beberapa pengkritik pemerintah yang harus berurusan dengan polisi, bahkan harus ditahan karena dituduh melanggar undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan melakukan pencemaran nama baik.
Seolah terjadi sebuah kontradiksi. Di satu sisi masyarakat diharapkan memberikan kritik, di sisi lain para pengkritik berhadapan dengan kemungkinan untuk dipolisikan, walaupun dalihnya adalah karena pelanggaran undang-undang ITE.
Sebenarnya, jika pemerintah masih melakukan tekanan, kezaliman, dominasi, atau penyangkalan, dan rakyat masih melakukan ujaran kebencian dan kedengkian, seperti yang tertulis pada kalimat yang saya kutip, maka perdebatan terkait kritik mengkritik tak akan pernah usai. Lagi-lagi, hal ini akan menjadi sebuah siklus yang tak berujung, seperti halnya perdebatan tentang keadilan sosial yang diungkapkan di atas.
Sebuah Refleksi
Istilah kritik berasal dari bahasa Yunani yakni kritikos yang berhubungan dengan krinein yang berarti mengurai, memisahkan, mengamati, membandingkan dan menimbang. Seharusnya, kritik bisa mengurai sebuah permasalahan bukan justru membuat permasalahan.
Dalam konteks permasalahan kritik mengkritik yang diperdebatkan akhir-akhir ini, kedua belah pihak, yaitu pemerintah dan rakyat, seharusnya bisa kembali melihat ke dalam, mencoba mengurai (mengkritisi) benang kusut yang terjadi.
Caranya adalah dengan kembali mengedepankan keadilan sosial. Terciptanya keadilan sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, rakyat juga seharusnya bisa berperan aktif mewujudkannya.Â
Keadilan sosial akan terbentuk jika pemerintah dan rakyat bisa hidup jauh dari kenikmatan dunia, jauh dari mengedepankan kekayaan, kemewahan, dan kehidupan yang luks.
Bayangkan jika para pejabat pemerintah hidup seperti rakyat biasa, dan mengedepankan kehidupan rakyat daripada kepentingan pribadinya. Pastinya tidak akan banyak permasalahan yang akan terjadi. Rakyat pun tak akan banyak mengkritik pemerintah. Jikalau mengkritik pun pasti akan membangun, bukan untuk menghina, merendahkan, atau melakukan pencemaran nama baik.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!