Altruisme dan egoisme adalah dua kata yang memiliki arti yang berkonotasi. Altruisme artinya melakukan sesuatu untuk orang lain dengan mengorbankan diri sendiri, sedangkan egoisme artinya melakukan sesuatu untuk diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.
Ditinjau dari asal kata, kata altruisme berasal dari bahasa Latin "alteri" yang memiliki arti "orang lain." Berabad-abad para filsuf memperdebatkan apakah altruisme itu adalah berkaitan dengan konsep konsistensi diri sendiri (self-consistent) yang sebenarnya mengarah kepada egoisme atau itu benar-benar terkait dengan altruisme murni (pure altruism) yang sesuai dengan arti katanya.[1]
Hal ini bisa kita pahami dari contoh permisalan berikut. Misalnya saja jika Anda membantu seorang pengemis, terjadi perdebatan apakah Anda melakukannya karena kasihan atas kondisi si pengemis (pure altruism), atau karena Anda melakukannya untuk diri Anda sendiri yang merasa kasihan melihat pengemis (self-consistent).
Jika kita perhatikan, pada contoh tersebut ada dimensi kesenangan intrinsik (intrinsic pleasure) pada seseorang yang mengesampingkan dorongan bagi dirinya melakukan sesuatu untuk orang lain. Hal inilah yang membuat makna altruisme menjadi terdistorsi kemurniannya. Terjadi pergumulan, apakah altruisme atau egoisme yang terjadi sebenarnya.
Dualisme pemahaman terkait altruisme dan egoisme juga memunculkan beberapa konsep berbeda di kalangan para filsuf. Ada yang mengatakan bahwa keduanya bisa dilebur dengan menggunakan konsep asosiasi. Artinya, altruisme dan egoisme muncul secara bersamaan.
Ada juga yang menggunakan konsep sudut pandang kuantitatif. Artinya, kita memandang orang lain sebagai bagian terbesar dari dunia emosional diri kita sendiri. Dengan demikian, sebanyak mungkin kebahagiaan pada orang lain akan mendatangkan kebahagiaan pada diri kita sendiri.
Ada juga yang menggunakan konsep simpati. Artinya, kemampuan manusia untuk berbagi perasaan dengan orang lain. Bahkan untuk sekedar mengidentifikasinya bisa memberikan sesuatu yang menyenangkan, menyegarkan, dan berkontribusi pada kesejahteraan manusia secara keseluruhan.
Terlepas dengan perdebatan dualisme altruisme dan egoisme, ada beberapa sudut pandang lain terkait altruisme. Satu diantaranya adalah para filsuf mengasosiasikan altruisme dengan kemanusiaan (humanity). Kemanusiaan berhubungan dengan rasionalitas manusia dan etik kemanusiaan.Â
Hal ini juga sejalan dengan pemahaman lain yang mengatakan bahwa altruisme itu adalah sebuah "hukum moral" (moral law) yang ditentukan oleh pikiran dan kekuatan kecerdasan manusia. Dengan adanya pemahaman ini maka seseorang akan selalu menempatkan kemanusiaan itu sebagai alat dan tujuan.
Misalnya saja, jika Anda harus memberikan kesaksian di pengadilan terkait kejahatan yang dilakukan saudara kandung Anda, mungkin terbersit dalam pikiran Anda untuk memberikan kesaksian palsu untuk menyelamatkan saudara kandung Anda.
Memberikan kesaksiaan palsu akan menjadi sebuah wasilah kebaikan bagi saudara Anda. Namun Anda lupa, bahwa wasilah itu tidak menempatkan nilai kemanusian sebagai tujuan yang sebenarnya, yaitu memberikan kesaksian yang benar. Jadi, memberikan kesaksian palsu tidak sesuai dengan "hukum moral" altruisme yang dipahami.
Sebenarnya, apa yang disebut dengan "hukum moral" ini dapat membantu manusia menghindar dari hawa nafsu yang selalu menginginkan kepuasan diri. Hal ini juga akan membuat manusia menjadi lebih proaktif, bertindak baik kepada orang lain, dan memikirkan kebaikan orang lain.
Namun sayangnya, banyak sekali distraksi yang mungkin kita hadapi untuk melakukan altruisme yang berdasarkan rasionalitas dan kecerdasan manusia.Â
Tidak semua orang termotivasi untuk melakukannya. Â Kebanyakan orang akan memerlukan proses panjang untuk melakukan pengembangan diri secara moral. Mereka perlu melakukan tindakan kebaikan dengan sungguh-sungguh, dan juga perlu mendengarkan nasihat baik dari orang lain.
Filsuf politik Amerika Serikat, Jean Hampton, berkata, "Jika kita begitu 'altruistik' sehingga kita menjadi tidak dapat mengembangkan dan mengekspresikan diri kita dengan benar, kita menjadi tidak dapat memberikan kepada orang lain apa yang mungkin mereka inginkan lebih dari apapun."[2]
Gagasan para filsuf ini mencerminkan keyakinan tentang kemampuan manusia untuk berhasil di semua usaha melakukan sikap altruistik hanya dengan menggunakan kecerdasan dan inisiatif pribadi mereka. Hal ini berlawanan dengan konsep penyerahan total manusia kepada agama.
Sebenarnya agama bisa menjadi jalan tengah solusi untuk memahami altruisme secara benar. Dalam agama, kita mengenal konsep isar. Isar artinya mendahulukan atau mengutamakan orang lain berdasarkan keinginan dan perintah Tuhan, bukan karena keinginan sendiri. Dari pemahaman ini, isar mampu memisahkan antara konsep altruisme dan egoisme.
Sungguh indah perkataan Ustad Bediuzzaman Said Nursi untuk menggambarkan isar yang sesungguhnya. Ustad berkata dalam kitab Risalah Nur karyanya, "Jika saya melihat iman bangsa kita dalam keselamatan, saya akan rela terbakar dalam nyala api neraka ..." Inilah puncak sikap isar yang mengedepankan sikap altruistik dan benar-benar mengesampingkan ego diri.
Alhasil, inti dari altruisme adalah mengutamakan orang lain daripada diri sendiri, hidup dengan mengedepankan manfaat dan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, dan menggantikan kenikmatan kehidupan pribadi dengan kelezatan hidup untuk menghidupi orang lain. Itu semua dilakukan dengan tujuan hanya untuk Tuhan semata, bukan yang lain.
Referensi:
[1] Frolov, Albert. 2016. "Reflections on Altruism" dalam The Fountain Magazine Issue 110. Clifton, NJ: Blue Dome Inc.Â
[2] Flescher, Andrew Michael, Daniel L. Worthen. 2007. The Altruistic Species: Scientific, Philosophical, and Religious Perspectives of Human Benevolence. Philadelphia and London: Templeton Foundation Press, p. 186-193.
[Baca Juga:Â Belajar Hakikat Kesuksesan dari Pak Habibie]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H