Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kasus Hukum Terkait SARA, Sebuah Kebiasan Intelektual dan Degradasi Moral

31 Januari 2021   19:59 Diperbarui: 2 Februari 2021   12:19 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, kritik sering ditujukan pada pribadi seseorang. Pemikiran kritis harus selalu diarahkan pada argumen (atau hasil karya, atau konsep). 

Ketiga, kritik terkadang didorong oleh emosi. Pemikiran kritis menganalisis emosi sebagai bagian dari keseluruhan proses.[2]

Dari uraian ini, kasus-kasus yang marak terjadi saat ini lebih mengarah kepada sebuah kritik yang dilakukan, bukan sebuah buah dari pemikiran yang kritis. Dalam pengakuannya, para terduga pelaku mengatakan bahwa mereka tak bermaksud untuk melakukan ujaran kebencian terkait SARA. 

Para pelaku berpikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah pemikiran kritis intelektual dalam mengkritik seseorang. Apa yang ingin mereka kedepankan adalah kebebasan dalam mengungkapkan argumentasi dalam memandang sesuatu.

Namun sayangnya, publik memahaminya berbeda. Apalagi dengan adanya penggunaan kata-kata yang bernada provokatif. Wajar saja jika publik memahaminya sebagai sebuah ujaran kebencian menjurus SARA yang patut untuk diminta pertanggungjawabannya.

Sebenarnya dalam kehidupan negara berdemokrasi, kritik sah-sah saja dilakukan, tetapi kritis yang diberikan seharusnya kritik yang membangun, bukan kritik yang bernada cacian, makian, hinaan, olok-olok, ataupun menyinggung SARA. 

Dalam dunia akademik kita mengenal konsep kritik membangun (constructive criticism) yang diartikan sebagai pemberian saran yang berguna dan memiliki implikasi sosio-emosional yang baik.

Oleh karenanya, jika seseorang ingin memberikan kritik, sebaiknya dia bisa memikirkan benar-benar apa dampak sosio-emosional kritikannya pada orang lain. 

Tanpa memikirkan ini, seseorang akan selalu bergumul pada ujaran kebencian yang tidak bermanfaat dan berpotensi mengganggu kemaslahatan masyarakat. 

Coba kita pikirkan, apabila hal ini dilakukan oleh orang-orang yang disebut influencer dengan jutaan followernya, pastinya akan menyebabkan kegaduhan dan bisa sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah yang kita lihat pada kasus-kasus yang marak terjadi minggu ini.

Kasus SARA dan Pendidikan Karakter

Dari sisi pendidikan yang lain, adanya kasus ini membuat kita memahami bahwa masih adanya degradasi moral yang sangat serius terjadi di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun