Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banjir Kalsel, Memaknai Bencana sebagai Anugerah dan Musibah

21 Januari 2021   06:19 Diperbarui: 21 Januari 2021   06:45 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, kita harus memaknainya sebagai anugerah yang berbentuk musibah. Artinya, sebagaimana ibadah itu bisa mengangkat derajat manusia, begitu juga musibah. Musibah dikenal dengan "Ibadah Salbiyah" atau "Ibadah Pasif". 

Barang siapa yang menjalaninya dengan sabar, maka hal tersebut berdampak pada dihapuskannya kesalahan dan dosa dari catatan amal perbuatannya.

Kedua, kita harus memaknainya sebagai musibah yang berbentuk anugerah. Artinya, kehidupan manusia selalu diliputi dengan ujian, tantangan dan musibah sepanjang hidupnya. Namun bentuk musibah tidak selalu berupa bencana, bisa jadi musibah tersebut datang dalam bentuk anugerah.

Cerita imajiner diambil dari buku Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali yang menceritakan seorang manusia yang tertipu daya dengan dunia, rasanya sangat tepat untuk memahami poin ini.

Diceritakan seorang manusia sedang menempuh jalan dengan penuh semangat menuju sebuah negara yang ia dengar begitu elok dan indah. Di tengah perjanannya, ia mendapati sebuah tempat yang nyaman, dengan suara gemericik air sungai, pepohonan rindang di kanan dan kiri, serta suara-suara burung yang bercericit. 

Tatkala itu ia lupa akan negara yang hendak ditujunya. Ia bahkan memutuskan untuk menetap di tempat itu dengan mendirikan rumah. Dan ia tidak pernah sampai pada tujuan awalnya.

Begitulah manusia yang selalu tertipu daya. Manusia tak menyadari bahwa anugerah yang diberikan kepadanya bisa menjadi musibah jika mereka lupa terhadap tujuan utamanya.

Ketiga, kita harus memaknai bencana yang sesungguhnya. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur'an, "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang." (QS. Ali Imran ayat 14).

Itulah bencana sesungguhnya, ketika kesenangan hidup di dunia, segala kenikmatan nafsu, cinta kepada pangkat, jabatan dan kedudukan, yang dimiliki secara berlebihan oleh manusia.

Ya, bencana memang terjadi atas kehendak Tuhan, tetapi terkadang manusia tak memahami hikmah di dalamnya. Tekadang manusia mengeluh, merasa Tuhan tidak adil mengirimkan bencana kepada orang-orang yang tak berdosa.

Padahal, bencana dimaknai bencana hanya dari perspektif manusia saja. Jika kita renungi lebih dalam dan bisa melihatnya dari perspektif lain, mungkin bencana akan bermakna anugerah yang diberikan Tuhan kepada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun