Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Akumulasi Karbon di Udara, Biarkan Hutan Tumbuh Sendiri

11 Januari 2021   20:52 Diperbarui: 11 Januari 2021   21:00 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi(KOMPAS/IWAN SETIYAWAN) 

Kemarin, tanggal 10 Januari. Banyak yang tak ingat jika setiap tanggal 10 Januari diperingati sebagai Hari lingkungan hidup Indonesia dan Hari perencanaan gerakan satu juta pohon.

Kini, isu lingkungan memang terkesan terlupakan, tak lagi hangat dibicarakan. Kehadiran pandemi covid-19 seolah membuat masyarakat lupa akan pentingnya isu lingkungan untuk diperhatikan.

Padahal, sebelum pandemi ini muncul, tema lingkungan menjadi isu yang banyak dibahas di beberapa forum tingkat dunia. 

Kita pasti masih ingat dengan aksi viral seorang remaja Swedia berusia 16 tahun yang menjadi aktivis lingkungan. Remaja bernama Greta Thunberg ini begitu vokal mendesak para pemimpin dunia untuk mengambil langkah menghadapi krisis iklim global. 

Karena keberaniannya itu, Greta Thunberg dipilih Majalah Time sebagai tokoh tahunan atau Person of the Year 2019. 

Setelah itu, negara di berbagai belahan dunia mulai mengedepankan isu lingkungan pada diskursus publik di negaranya masing-masing.

Isu Lingkungan di Indonesia

Indonesia sendiri sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia dan negara yang masih memiliki hutan yang sangat luas sangat diharapkan peran aktifnya dalam mencermati isu lingkungan ini. 

Isu polusi, kebakaran hutan, perubahan iklim dan berbagai macam isu penting lingkungan lainnya seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah kita.

Tahun lalu, muncul isu tentang penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kandungan Research Octane Number (RON) dibawah 91. Isu ini mengarah kepada penghapusan premium dan pertalite, dua BBM yang paling banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. 

Namun akhirnya, isu itu dibantah oleh Pertamina, sebagai perusahaan plat merah yang berwenang menangani hal ini. Tahun ini, akankah ada polemik lagi? Menarik ditunggu isu BBM apalagi yang akan dilontarkan ke masyarakat di tengah resesi ekonomi yang sedang melanda.

Jika kita pikirkan, sebenarnya polusi udara yang disebabkan emisi asap yang dikeluarkan dari BBM beroktan rendah itu sangat membahayakan kesehatan manusia. 

Asap hidrokarbon yang dikeluarkan bisa menyebabkan kanker paru-paru dan berbagai gangguan pernafasan lainnya. Emisi karbon dioksida sudah sangat jelas efeknya. Belum lagi efek emisi gas-gas berbahaya dan beracun lainnya.

Selain berbahaya bagi manusia, akumulasi karbon di udara bisa menyebabkan perubahan cuaca yang sangat ekstrem.

Kini kita berada pada masa dimana musim berubah-ubah dan cuaca tak menentu. Cuaca bisa berubah secara drastis dalam hitungan jam. Kadang hujan lebat melanda disertai angin kencang, kadang cuaca menjadi sangat panas dengan matahari yang bersinar dengan teriknya. Dari kondisi ini kita pahami bahwa perubahan iklim adalah sebuah keniscayaan. 

Selain polusi udara, salah satu penyebab perubahan iklim adalah berkurangnya jumlah pohon dan hutan. Oleh karenanya, dijadikannya tanggal 10 Januari sebagai hari perencanaan gerakan satu juta pohon merupakan hal yang penting dalam rangka menggalakkan kembali program reboisasi.

Menanggulangi Perubahan Iklim

Reboisasi, yang ditandai dengan penanaman pohon kembali, telah dianggap sebagai strategi utama dalam perjuangan untuk mengurangi efek perubahan iklim. Reboisasi berperan dalam menangkap dan menyimpan karbon yang ada di atmosfer.

Permasalahannya, reboisasi membutuhkan dana yang tidak kecil. Perlu disiapkan anggaran besar untuk biaya pembibitan, persiapan tanah, pemupukan, dan tentunya perawatan.

Meskipun penanaman pohon terkadang diperlukan, seharusnya ini menjadi pilihan terakhir karena ini adalah salah satu metode yang mahal dan seringkali kurang memberikan hasil yang memuaskan dalam menanggulangi perubahan iklim.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan?

Baru-baru ini ada sebuah penelitian yang mengungkap potensi strategi baru untuk menanggulangi perubahan iklim. 

Para peneliti mencoba menggunakan cara termurah dan termudah untuk menanganinya. Caranya, dengan menumbuhkan kembali hutan yang telah gundul atau dikenal dengan konsep pertumbuhan hutan kembali secara alami (Natural Forest Regrowth).

Peneliti dari 18 negara mengumpulkan lebih dari 13.000 pengukuran georeferensi akumulasi karbon untuk menghasilkan peta yang berjangkauan luas dan memiliki resolusi satu kilometer. 

Peta ini mencakup 43 negara dengan menyoroti daerah yang memiliki daya pengembalian karbon terbesar jika pohon dibiarkan tumbuh kembali secara alami.

Hasilnya, tim tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan kembali hutan secara alami dapat menangkap hingga 23 persen emisi karbon dioksida (CO2) global dari atmosfer setiap tahun. 

Hal ini diluar dari penyerapan karbon yang dilakukan oleh hutan yang memang ada, yang bisa menyerap sekitar 30 persen emisi CO2 tahunan.[1]

Untungnya lagi, konsep pertumbuhan hutan kembali secara alami ini tidak memerlukan banyak aksi di masyarakat. Masyarakat hanya dituntut untuk tidak melakukan pengrusakan pohon dan bisa menjaga pelestarian hutan.

Tentu saja, karena pertumbuhan hutan terjadi secara alami, biaya yang dikeluarkan pun akan lebih murah. 

Jadi, jika pertumbuhan hutan secara alami lebih murah dan lebih baik, mengapa masyarakat tidak bekerja untuk melindungi pohon yang ada dan membiarkan hutan tumbuh sendiri?

Alhasil, meskipun kita belum bisa mampu secara maksimal mengurangi akumulasi karbon di udara, setidaknya yang bisa kita lakukan adalah membiarkan pepohonan hidup untuk menangkap karbon di udara.

Sejatinya, inilah yang akan menyelamatkan dunia kita dari mara bahaya perubahan iklim yang mengintai kehidupan kita.

Referensi:

[1] Cook-Patton, S.C., Leavitt, S.M., Gibbs, D. et al. Mapping carbon accumulation potential from global natural forest regrowth. Nature 585, 545--550 (2020). https://doi.org/10.1038/s41586-020-2686-x

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun