Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Work From Destination, Kita Ambil Konstruksi Berpikir Kreatifnya, Bukan Konsepnya

8 Januari 2021   14:50 Diperbarui: 9 Januari 2021   10:10 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menparekraf Sandiaga Uno (ANTARA/Fikri Yusuf  via bisnis.tempo.com)

Setelah Work From Home (WFH), kini muncul Work From Destination (WFD), sebuah ide konsep kreatif, inovatif, dan out of the box yang diwacanakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) di bawah komando menteri barunya Sandiaga Uno.

Sekilas terdengar tak wajar, abnormal, dan absurd. Konsep yang terkesan dipaksakan untuk memulihkan ekonomi. Menurut pemikiran saya, bagaimana bisa berlibur sambil kerja atau kerja sambil berlibur? Rasanya, Keduanya tak bisa disandingkan. Kerja akan terganggu jika sambil berlibur, berlibur pun kurang nyaman, jika sambil bekerja.

Apalagi, di masa pandemi yang belum mereda seperti saat ini. Melakukan perjalanan ke tempat wisata tetap memiliki risiko tinggi untuk terpapar, walaupun kita melakukan protokol kesehatan yang ketat. Belum lagi, ancaman strain baru covid-19 yang katanya lebih mudah menular. Terlepas belum ditemukannya strain baru ini di negara kita, ancamannya tetap ada.

Namun, disisi lain, saya mendukung konsep ini dengan melihat sudut pandang yang berbeda. Karena konsepnya kreatif, dan dikeluarkan oleh kementerian yang menyandang nama kreatif di belakangnya, maka memandangnya pun perlu dilakukan dengan cara yang kreatif.

Konstruksi Berpikir Kreatif

Bagaimana sudut pandang kreatif ala saya terkait hal ini?

Sudut pandang yang kreatif tidak hanya memandang konsep atau ide yang disuguhkan, tetapi perlu juga memandang bagaimana konsep atau ide tersebut di konstruksi. Terus terang, saya mendukung konsep WFD ini dengan pandangan bahwa konsep ini memiliki konstruksi berpikir yang kreatif, bukan karena konsep yang disuguhkan. 

Ya, kata kreatif banyak saya gunakan pada artikel ini. Timbul pertanyaan, mengapa kata kreatif begitu penting dalam membuat konsep atau ide? 

Rotherham & Willingham (2009) menjelaskan bahwa untuk bisa menerapkan keterampilan abad ke-21, menuntut semua orang untuk melakukannya dengan menguasai keterampilan yang mencakup kreativitas dan berpikir inovatif, berpikir kritis, berkomunikasi dan berkolaborasi. Keempat hal ini biasa disebut sebagai 4C (Creativity, Critical thinking, Communication, Collaboration).[1]

Sejatinya, konsep 4C ini bukanlah hal yang baru. Dunia pendidikan kita juga sudah lama mengusung konsep ini. Sejak diterapkannya kurikulum 2013 di sekolah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak henti-hentinya mensosialisasikan konsep ini kepada para guru. Harapannya, para guru bisa mengintegrasikan konsep ini ke dalam pembelajaran di kelas.

Lantas, sebenarnya apa sih arti kreatif itu sendiri?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kreatif berarti memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; bersifat (mengandung) daya cipta.

Menurut Guilford dalam Satiadarma (2003: 111), berpikir kreatif adalah proses berpikir menyebar (divergen) dengan suatu penekanan tentang keragaman dalam hal jumlah dan kesesuaian.[2]

Kreatif juga berarti bekerja dengan ide kreatif untuk membuat sesuatu menjadi nyata dan berguna menjadi studi dimana inovasi akan terjadi (Anonim, 2015: 3).[3]

Dilihat dari definisi-definisi tersebut, wajar jika konsep WFD bisa dikategorikan kreatif. Alasannya, karena konstruksi berpikir konsep WFD ini mengandung daya cipta, proses berpikir yang luas dan inovatif.

Konstruksi Berpikir Efisien dan Bermakna

Selain kreatif, saya juga mendukung konsep WFD ini karena konsep ini memiliki konstruksi berpikir yang mengajarkan kita untuk melakukan sesuatu secara efisien dan bermakna. 

Ada pepatah yang mengatakan, "sambil menyelam minum air." Rasanya pepatah ini sangat cocok menggambarkan konsep WFD yang mengajak kita untuk mengefisienkan waktu dan kegiatan.

Efisien saja tidaklah cukup, perlu ada makna di dalamnya. Jika ditilik, bekerja sambil berlibur ala WFD itu juga memiliki makna yang dalam.

Artinya, pekerjaan tidak akan menjadikan seseorang tertekan dan stress, justru pekerjaan akan membuat seseorang bisa lebih merasakan kebahagiaan. Jika para pekerja bahagia, motivasi dan efektivitas kinerjanya pun akan meningkat.

Konstruksi berpikir ala konsep WFD ini juga bisa diterapkan dalam bidang yang lain. Misalnya, dalam bidang pendidikan, seorang guru bisa berpikir bekerja sambil belajar. Dari sudut pandang agama maknanya lebih dalam lagi, bekerja sambil beribadah.

Terkait dengan ibadah, ulama dan intelektual Muhammad Fethullah Gulen mengatakan bahwa setiap pekerjaan yang dikerjakan dengan penuh keihklasan dan ditujukan hanya untuk menggapai ridha Tuhan, maka pekerjaan itu akan bernilai ibadah.

Sebuah Refleksi 

Jadi, dengan menggunakan sudut pandang yang kreatif, konsep WFD jauh lebih memiliki makna dibandingkan jika hanya dipandang dari sisi memperkuat sektor wisata dan ekonomi kreatif dalam pemulihan ekonomi nasional. 

Bahkan jika kita hanya memandangnya dari sisi ekonomi, konsep ini mungkin akan terkesan terlalu dipaksakan untuk diterapkan di masa pandemi yang masih sangat luas melanda nusantara.

Alhasil, saya menyambut baik konstruksi berpikir konsep kreatif WFD yang diwacanakan Kemenparekraf. Konstruksi berpikir yang dibangun membuat saya belajar bagaimana berpikir kreatif, efisien dan bermakna.

Yang perlu kita lakukan adalah menggunakan konstruksi berpikir yang sama di semua lini kehidupan. Jika ini bisa kita lakukan, ekonomi mungkin akan bergeliat kembali, tanpa harus menjadikan kesehatan masyarakat sebagai tebusannya.

Referensi

[1] Rotherham, Andrew & Willingham, Daniel. (2009). 21st Century Skills: The Challenges Ahead. Educational Leadership. 67. 16-21. 

[2] Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan.jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003

[3] Anonymous. 2015 "21st Century Student Outcomes". P21 Partnership For 21st Century Learning: 3

[Baca Juga: Prediksi Bidang Pendidikan di Masa Pandemi Antara Tepat dan Tidak Tepat]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun