"Pemerintah nampaknya akan "memaksakan" membuka sekolah nanti di semester genap," itu prediksi saya sebelum Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri tentang pendidikan di masa pandemi dikeluarkan pemerintah November tahun lalu.Â
Kala itu, saya memprediksi bukan tanpa argumen. Tekanan masyarakat, terutama orang tua, yang sudah mulai bosan dan lelah dengan pembelajaran daring, mulai terbiasanya masyarakat dengan adaptasi kebiasaan baru, dan adanya pencerahan dengan kehadiran vaksin yang akan segera terealisasi menjadi argumennya.
Prediksi SKB 4 Menteri
SKB 4 menteri ketiga yang dikeluarkan pada tanggal 20 November 2020 itu, isinya sejalan dengan apa yang saya prediksikan. Pemerintah merevisi SKB sebelumnya. Pada SKB terbaru ini, ada relaksasi aturan terkait pembukaan sekolah secara tatap muka. Inti isi SKB ini membolehkan, bukan mewajibkan, satuan pendidikan untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM) pada semester genap.Â
Menurut SKB ini, peta zona risiko covid-19 tidak lagi menjadi acuan. Asalkan ada izin dari pemerintah daerah (pemda), satuan tugas (satgas) covid daerah, dan komite sekolah sebagai perwakilan orang tua, satuan pendidikan bisa melaksanakan PTM dengan protokol kesehatan yang ketat, walaupun ada di zona merah sekalipun.
Keluarnya SKB ini, pada awalnya seperti mengamini prediksi saya. Meskipun pemerintah tidak benar-benar memaksakan PTM, tetapi dengan memberikan relaksasi pada aturan, pemerintah pusat seolah "memaksakan" PTM dengan melemparkan bola panas itu kepada daerah.Â
Artinya, pemerintah pusat berkeinginan PTM dilaksanakan, tetapi tergantung dari keadaan dan kesiapan tiap daerah untuk melaksanakannya.
Dengan adanya SKB ini, dunia pendidikan pun mulai bergairah untuk menyambut era baru PTM. Sekolah mulai berbenah mempersiapkan diri. Berbagai macam tim dalam satgas covid sekolah dibentuk. Tujuannya, memastikan bahwa PTM yang akan segera dilaksanakan bisa berjalan dengan baik dan aman.
Di masyarakat, diskursus publik terus terjadi terkait dengan PTM. Ada yang setuju PTM dilakukan, ada yang menolak keras. Keduanya memiliki argumen yang sama-sama kuat sehingga hal ini membuat para pengambil kebijakan mengalami kesulitan untuk memutuskan.
Keadaan yang Berubah
Setelah satu bulan SKB keluar, keadaan berubah. Kasus penularan covid-19 tak beranjak turun, bahkan terus menciptakan rekor tertinggi harian.
Disisi lain, beberapa negara eropa melaporkan ditemukannya strain virus covid-19 baru. Konon katanya strain virus baru ini lebih mudah menular, walaupun tingkat bahayanya tidak lebih besar dari virus yang lama.
Sementara itu, terkait vaksin, masih ada keraguan di masyarakat. Meskipun vaksin sudah datang, tingkat keefektifan dan keamanannya masih belum teruji dengan baik.Â
Ketika artikel ini saya tulis, pemerintah sudah mendistribusikan vaksin ke 34 provinsi di Indonesia. Vaksinasi pun sudah direncanakan tanggalnya dengan Presiden Jokowi yang katanya akan menjadi orang pertama yang akan divaksinasi.
Namun anehnya, pada saat yang sama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih belum mengeluarkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) terhadap vaksin ini. Begitu juga bagi masyarakat muslim, vaksinasi masih harus menunggu label kehalalan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga masih belum dikeluarkan.
Timbul pertanyaan, apakah kebijakan alur prosedur vaksinasi yang tidak meyakinkan ini disebabkan karena adanya "pemaksaan" kebijakan atau pemerintah berdalih karena adanya kondisi darurat yang perlu mengambil kebijakan vaksinasi secara cepat?Â
Jawabannya hanya pemerintah yang tahu.
Beberapa hal inilah yang akhirnya membuat banyak pemerintah daerah memutuskan untuk melanjutkan kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR) dan menunda PTM untuk menurunkan risiko penularan.
Menyoal Prediksi yang Dilakukan
Apakah ini artinya prediksi saya tidak tepat?
Dari satu sisi bisa dikatakan tidak tepat, karena prediksi PTM akan dilaksanakan di semester genap terbukti salah. Tidak banyak pemerintah daerah yang secara langsung memberikan izin PTM, kebanyakan masih akan menundanya.
Namun, disisi lain prediksi saya tepat. Argumen yang saya sampaikan diatas bahwa dengan memberikan relaksasi pada aturan, pemerintah pusat seolah "memaksakan" PTM dengan melemparkan bola panas kepada daerah, masih sangat relevan. Sampai saat ini, SKB ini belum dicabut atau direvisi. Artinya, pemerintah pusat masih memberikan kelonggaran untuk PTM kepada daerah untuk memutuskan.Â
Untungnya, masyarakat sekarang sudah pintar untuk membaca keadaan. Keadaan krisis memaksa masyarakat untuk berpikir, menggunakan nalar dan logika, menimbang-nimbang dengan penuh kehatian-hatian setiap kebijakan yang dikeluarkan. Inilah salah satu hikmah dari pandemi yang masyarakat dapatkan.
Lantas, apa pentingnya prediksi ini?
Menurut saya memprediksi keadaan dengan berdasarkan argumen yang kuat sangat penting dilakukan di masa pandemi, terlepas nantinya akan tepat atau tidak tepat.
Dalam dunia pendidikan, kemampuan kognitif memprediksi adalah kemampuan kognitif yang tinggi, yaitu pada ranah kognitif evaluasi.Â
Menurut taksonomi Bloom, kemampuan evaluasi berada pada tingkatan kelima, berada di atas kemampuan pengetahuan, pemahaman, aplikasi, dan analisis. Evaluasi hanya ada satu tingkat dibawah tingkatan kognitif tertinggi yaitu kemampuan kreasi. Bahkan, sebelum taksonomi Bloom direvisi, kemampuan evaluasi masih ditempatkan di tingkatan tertinggi diatas kemampuan kreasi.
Oleh karenanya, saya mengajak masyarakat untuk terus memprediksi dan berpikir kritis terhadap apa yang akan terjadi kedepannya, terutama di masa krisis seperti saat ini. Memprediksi harus dengan berdasarkan kepada argumen yang kuat hasil pemikiran yang benar.
Terutama dalam dunia pendidikan, apa yang akan terjadi pada tahun ajaran depan seharusnya bisa diprediksikan dan dipikirkan bersama sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat.
Alhasil, gairah masyarakat untuk memprediksi dengan banyak berpikir inilah yang akan mengeluarkan kita dari masa pandemi. Mari kita pikirkan sama-sama apa yang akan terjadi pada tahun ajaran depan. Apakah Anda siap untuk memprediksinya?
[Baca Juga: Inti Protokol Kesehatan adalah Kesadaran Kolektif]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H