Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Makan Buah Simalakama Corona: SKB 4 Menteri dan Penemuan Vaksin

23 November 2020   14:41 Diperbarui: 26 November 2020   07:23 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu lalu pemerintah mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB) empat menteri terkait dengan panduan penyelenggaraan pembelajaran pada semester genap tahun ajaran dan tahun akademik 2020/2021 di era pandemi covid-19.

Ini merupakan SKB ketiga yang dikeluarkan pemerintah selama hampir 8 bulan pembelajaran berlangsung secara daring. Dari satu SKB ke SKB lainnya terlihat terjadi relaksasi pemerintah berkaitan dengan perizinan pembelajaran tatap muka.

SKB pertama mengatakan hanya daerah zona hijau saja yang diizinkan tatap muka. SKB kedua, zona kuning pun diperbolehkan. Sekarang, SKB ketiga, semua zona boleh tatap muka, asalkan ada izin dari pemerintah daerah (pemda), satuan gugus tugas (satgas) covid-19 daerah, dan komite sekolah sebagai perwakilan orang tua.

Buah Simalakama SKB

Tak pelak, bagi masyarakat, terutama yang tinggal di daerah, SKB 4 menteri ini bagai makan buah simalakama corona. Serba salah mau melakukan apa. Tak mudah untuk mengambil keputusan, karena ini berhubungan dengan keselamatan masyarakat.

Baru-baru ini Pak Jokowi kembali menegaskan bahwa keselamatan masyarakat adalah hukum tertinggi. Bahasa hukumnya diambil dari adagium latin, "Salus populi suprema lex esto."

Mengapa hal ini menjadi buah simalakama bagi daerah? 

Di satu sisi, pemerintah daerah dan jajarannya harus bisa mengambil keputusan yang benar-benar bisa dipertanggung jawabkan. Dalam artian, jika memang sekolah harus dibuka, harus benar-benar mengikuti prosedur dan protokol kesehatan secara jelas. 

Sekolah harus dibuka berdasarkan data yang benar mengenai ceklis kesiapan sekolah, dan sudah pastinya data kasus penyebaran covid-19.

Meskipun data beberapa daerah menunjukkan bahwa kasus positif sudah mulai melandai, tetapi belum ada jaminan daerah tersebut aman. Ada selentingan yang mengatakan adanya zona semangka, hijau di luar, merah di dalam.

Di sisi lain, daerah masih kesulitan dalam mempersiapkan infrastruktur dan sumber daya manusia untuk bisa memastikan kesiapan pembukaan sekolah. 

Banyak sekolah yang mungkin belum memiliki bangunan yang memadai, belum lagi tenaga pengajar yang terbatas, menyebabkan berjalannya tatap muka di era pandemi mungkin akan menemukan banyak kendala. 

Hal ini menimbulkan keraguan bagi masyarakat di daerah jika nantinya diputuskan bahwa sekolah akan dibuka. Masyarakat mungkin akan merasa ragu apakah keputusan pembukaan sekolah sudah benar-benar dipertimbangkan dengan baik atau hanya sekedar membuka. 

Namun, masyarakat daerah juga tidak menginginkan pembelajaran masih berjalan secara daring terus-menerus dalam waktu yang lebih lama. 

Tak bisa dipungkiri, pembelajaran daring memiliki dampak buruk pada peserta didik. Bahkan dampaknya ini bisa menjadi dampak yang permanen, yang mungkin bisa menghilangkan satu generasi.

Berdasarkan paparan Mendikbud Mas Nadiem Makarim, ada 3 dampak negatif yang bisa timbul pada anak. Diantaranya, ancaman putus sekolah, kendala tumbuh kembang, dan tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga.

Bagi saya, yang aktif mengajar daring selama 8 bulan terakhir, tekanan psikososial menjadi dampak negatif yang paling saya rasakan. Interaksi yang minim antara guru dan siswa, sulitnya memahami pelajaran, kendala fasilitas alat dan kuota, kondisi tempat tinggal, dan terlalu banyaknya beban tugas dari guru menjadi faktor mengapa banyak anak yang merasa tertekan dan stress.

Bagi anak yang mampu mengatasi permasalahan ini akan bisa terus mengikuti pembelajaran dengan baik, bagi yang tidak, akan terjadi gejala penurunan motivasi. 

Bahayanya, penurunan motivasi bisa menyebabkan anak menumpahkannya kepada hal-hal yang negatif, misalnya anak menjadi kecanduan game online, atau bermain media sosial secara berlebihan. Itu masih lebih baik, jika dibandingkan dengan ancaman fatal kesehatan berupa depresi atau gangguan kejiwaan lainnya.

Inilah mengapa SKB ini menjadi makan buah simalakama bagi masyarakat daerah. Sekolah dibuka atau tidak dibuka sama-sama membawa kekhawatiran.

Buah Simalakama Vaksin

Satu-satunya harapan bagi masyarakat daerah, dan juga masyarakat dunia adalah ditemukannya vaksin covid-19.

Saat ini salah satu vaksin yang paling menjanjikan adalah vaksin yang dibuat perusahaan farmasi Jerman BioNTech yang bekerja sama dengan perusahaan farmasi Amerika Serikat Pfizer.

Vaksin yang mereka temukan saat ini sudah didaftarkan untuk mendapatkan izin darurat penggunaannya di Amerika Serikat. Menurut pemberitaan vaksin ini 90 persen efektif mencegah virus covid-19. Jika mendapat izin dari Food and Drug Administration (FDA), selaku BPOM Amerika, maka vaksin ini mulai bisa didistribusikan bulan depan.

Yang menarik adalah perusahaan Jerman BioNTech didirikan oleh salah seorang imigran asal Turki bernama Ugur Sahin dan istrinya Ozlem Tureci. Pasangan suami istri inilah yang berjasa pada penelitian penemuan vaksin covid-19 di BioNTech. 

Di sisi perusahaan Amerika Serikat Pfizer yang berperan penting adalah Albert Bourla, pimpinan eksekutif dari Pfizer yang kebetulan imigran keturunan Yunani. 

Ugur Sahin dan Albert Bourla sudah memiliki kecocokan dari sebelum pandemi ini muncul. Keduanya memiliki latar belakang sama sebagai peneliti dan sama-sama imigran.

Mengapa saya paparkan hal ini? Sebenarnya saya ingin menyorot persoalan imigran. Ada sebuah kesamaan persoalan imigran dengan buah simalakamanya SKB 4 menteri.

Persoalan imigran juga sebenarnya menjadi buah simalakama bagi negara tujuan para imigran. 

Datangnya imigran ke beberapa negara maju, membuat pemerintah negara maju tersebut harus berpikir keras antara menerimanya atau menolaknya.

Jika menolaknya, pemerintah dianggap tidak peduli kepada nilai-nilai kemanusiaan. Para imigran datang ke negara maju dikarenakan adanya konflik di negara asalnya. Harapan mereka bermigrasi adalah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Di sisi lain, jika pemerintah negara yang dituju menerimanya, akan ada konsekuensinya. Perlu ada anggaran yang disediakan untuk mengurusi mereka. Yang lebih mengkhawatirkan adalah para imigran ini berpotensi menjadi permasalahan baru jika mereka tidak mampu berasimilasi dengan budaya setempat. Asimilasi tidak mudah pastinya, perbedaan bahasa, agama, budaya, dan cara hidup terkadang menjadi hambatan.

Beberapa negara tujuan imigran mengalami kesulitan ini. Para imigran yang tak mampu berasimilasi menjadi sumber kejahatan, kriminalitas, tindakan kekerasan, dan radikalisme di negara tersebut.

Namun, jika para imigran mampu berasimilasi dengan baik bukan tak mungkin para imigran ini justru bisa mengangkat nama negara barunya tersebut, seperti halnya contoh Ugur Sahin, Ozlem Tureci, dan Albert Bourla. 

Menarik ditunggu vaksin karya para imigran tersebut. Vaksin yang akan merubah kehidupan kita semua, vaksin yang akan menjawab keresahan dan kekhawatiran kita semua.

Alhasil, SKB 4 menteri memang ibarat makan buah simalakama bagi masyarakat daerah. Namun, ini tidak berarti tidak ada solusi. Dalam hal ini, pemerintah pusat harus turun tangan membantu daerah menangani permasalahan hal ini. Jangan sampai terkesan pemerintah pusat cuci tangan dari hal ini.

Setelah terjalin sinergi yang baik antara pusat dan daerah, apapun keputusannya nanti, masyarakat harus menjalankannya dengan baik. Seperti halnya contoh para imigran penemu vaksin covid-19, buah simalakama bisa saja membawa dampak positif.

Mudah-mudahan vaksin akan segera hadir di negara kita sehingga kita tidak harus makan buah simalakama corona lebih lama lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun