Ungkapan kini berubah, "postinganmu adalah harimaumu," bahkan ada ungkapan yang lebih dalam, "jempolmu lebih menyakitkan dari lisanmu."
Fenomena status ini memang perlu mendapat perhatian khusus. Media sosial begitu bebasnya digunakan sebagai alat mengungkapkan kata-kata yang berlebihan. Cacian, makian, hinaan, kabar miring, dan hoaks memenuhi lini masa media sosial kita. Lebih parahnya, sangat sedikit yang memoderasinya.
Meskipun terkait hal ini sudah ada aturannya, dengan keluarnya undang-undang informasi, dan transaksi elektronik (UU ITE), tetap saja banyak hal yang lolos sensor, dan sulit untuk dikontrol.
Alhasil, pilihan yang paling tepat adalah memang kita perlu sedikit bicara. Kita perlu memaknai sedikit bicara dengan pemahaman bahwa kita perlu berpikir sebelum bicara. Untuk berpikir diperlukan wawasan yang luas. Wawasan yang luas didapat dengan banyak membaca dan belajar.
Jadi, sebelum bicara, kita kumpulkan informasi, kita timbang, kita pikirkan berkali-kali sampai kita benar-benar yakin akan manfaatnya, baru kita ucapkan. Jika proses ini berjalan, secara otomatis kita akan sedikit bicara. Dengan ini, kita akan terhindar dari "musibah lidah" yang dimaksud di perbincangan kami ini.
[Baca Juga: Guru yang Perlu Terus Belajar dan Mengembangkan Pengetahuan]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H