Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Musibah Lidah

21 November 2020   14:26 Diperbarui: 21 November 2020   14:32 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Menjaga Lisan (Foto: The Economist) 

Dalam peradaban modern, mendengar menjadi sebuah hal penting dalam membangun komunikasi. Seorang yang bijak akan lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seorang yang banyak mendengar akan lebih memahami sesuatu secara holistik dan komprehensif, sehingga bisa berpikir lebih mendalam akan sesuatu.

Sebagai contoh, seorang psikolog lebih banyak mendengar ketika ada seseorang yang berkonsultasi kepadanya. Dengan banyak mendengar, seorang psikolog bisa membangun pemahaman akan permasalahan yang dihadapi seseorang, dan ini akan mempermudah dirinya memikirkan solusi yang bisa diberikan.

Poin ketiga, dikatakan bahwa diam adalah emas. Artinya, diam itu berharga dan mulia. Namun, ini tidak berarti bahwa semua orang harus diam. Bayangkan jika semua orang tak mau bicara, pasti tak akan ada komunikasi. Tanpa adanya komunikasi akan sangat rentang terjadi miskomunikasi. Seharusnya, bagi seseorang yang pembicaraannya lebih bermanfaat, maka baginya berbicara lebih utama. Jika pembicaraan kita tak akan banyak manfaatnya, maka pilihan diam itu emas harus dipilih.

Banyak hal yang menyebabkan mengapa diam itu lebih baik. Kita bisa melihatnya dari beberapa prinsip dalam berbicara. Misalnya, kita berkata hanya kebenaran saja, yang benar pun tidak semuanya bisa dikatakan, perlu diperhatikan konteksnya, apakah layak untuk dikatakan atau tidak.

Terkadang sesuatu yang mengandung kebenaran, juga mesti diperhatikan siapa yang menyampaikannya, karena tidak semua orang pantas mengucapkannya. Jikapun pantas, tidak semua waktu cocok untuk mengucapkannya.

Seorang ulama dan intelektual Muhammad Fethullah Gulen pernah berkata, "Derajat manusia akan dinaikkan bukan dengan seberapa banyak ia bicara tapi dengan seberapa tepat dan bermanfaat bicaranya tersebut."

Poin keempat, "Sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara," maksudnya, kita perlu menjaga lisan sehingga tidak bicara omong kosong. Omong kosong itu menunjukkan bahwa lisannya lebih besar dari akal dan hatinya yang akan menjadi sebab kehancuran abadi baginya baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Seharusnya akal dan hati lebih diutamakan daripada lisan. Kita seharusnya bisa memikirkan dan merasakan dulu perkataan sebelum kita ucapkan. Kita pasti tahu bahwa kata yang sudah diucapkan, tidak akan bisa kita tarik lagi.

Poin kelima, bagi orang yang mengatakan sesuatu yang tidak dilakukan, tentu penuh dengan kepedihan, dan bagi mereka, ini merupakan sesuatu yang pantas dikhawatirkan. 

Seseorang yang seperti ini, sebaik apapun perkataannya biasanya tidak akan memiliki efek yang besar kepada pendengarnya. Oleh karenanya, sebelum kita mengatakan sesuatu, seharusnya kita memulainya dari diri sendiri.

Poin keenam, penjelasan mengenai musibah lidah dikaitkan dengan penulisan status di media sosial. Sejatinya status yang dituliskan itu sama saja dengan kata-kata yang keluar dari mulut kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun