Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menyoal Siswa sebagai Amanah Orangtua kepada Guru

15 November 2020   19:49 Diperbarui: 15 November 2020   20:02 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya titip anak saya untuk dididik ya Pak," ujar seorang orang tua kepada salah seorang guru. Perkataan seperti ini mungkin sering didengar guru ketika bertemu orang tua siswa.

Sudah pasti, orang tua tidak main-main mengucapkan kata itu. Dengan menitipkan anaknya berarti orang tua sudah memberikan kepercayaan penuh kepada guru/sekolah.

Dalam KBBI, kata "titip" memiliki arti menaruh (barang dsb) supaya disimpan (dirawat, disampaikan kepada orang lain, dsb). Dalam hal ini, sesuatu yang dititipkan menjadi sebuah amanah yang dipercayakan.

Secara etimologis, kata amanah berasal dari bahasa Arab yang memiliki akar yang sama dengan kata iman. Ini artinya, amanah itu perlu disertai dengan keimanan, kepercayaan.

Layaknya iman, kepercayaan tidak hanya cukup pengakuan pada ucapan lisan saja, perlu adanya pembenaran dengan hati, dan pastinya diamalkan dengan tindakan atau perbuatan.

Tentang Amanah Orangtua

Menyoal perkataan orang tua yang saya sebutkan diawal, timbul sebuah pertanyaan, apakah orang tua yang menitipkan anaknya kepada guru sudah benar-benar memberikan kepercayaan penuh kepada guru? Apakah orang tua sudah benar-benar memahami makna amanah yang diberikannya kepada guru?

Jawabannya, bisa "ya", bisa juga "tidak". Terkadang ada orang tua yang ingin memaksakan kehendaknya sendiri. Anak saya harus begini, anak saya harus begitu, tanpa menghiraukan perencanaan dan kebijakan dari guru/sekolah.

Meskipun peran serta orang tua memang perlu dalam dunia pendidikan, tetapi jika harus memaksakan kehendak, rasanya tidak pas. Kontrol orang tua memang perlu, tetapi jika harus intervensi kebijakan guru/sekolah, rasanya kurang cocok.

Apalagi bagi orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah berbayar, terkadang orang tua merasa bisa begitu superior, merasa bisa melakukan apa saja, mencampuri proses pendidikan di sekolah karena merasa dirinya sudah membayar. Jika sudah seperti ini, hancur sudah makna pendidikan.

Lantas, apakah orang tua harus menerima saja apa yang dilakukan guru/sekolah, tanpa harus ikut campur?

Tentu saja "tidak". Jika seperti ini, pendidikan akan berjalan timpang. Hal ini sering juga terjadi. Terkadang orang tua terlalu sibuk, sehingga tak sempat memperhatikan anaknya dalam belajar. Orang tua menyerahkan masalah pendidikan sepenuhnya kepada guru/sekolah, tanpa adanya cek dan ricek atau terlibat dalam kontrol dan evaluasi.

Dalam hal ini, orang tua terkesan cuci tangan terhadap pendidikan anaknya. Jika seperti ini, sekolah tak ubahnya sebuah bengkel yang dititipkan kendaraan untuk dilakukan service.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan orang tua untuk benar-benar memahami amanah yang mereka berikan kepada guru?

Jika amanah itu seakar dengan iman, maka perlu kita mengkorelasikannya. Dalam agama, iman itu harus diyakini dengan keyakinan yang sempurna. Kita menyebutnya tahkiki iman. Lawannya adalah taklidi iman, yakni iman yang hanya ikut-ikutan, ikut orang tua, ikut keluarga atau ikut lingkungan.

Semua kita memang biasanya terlahir dengan taklidi iman. Dengan berjalannya waktu seharusnya taklidi iman bisa diubah menjadi tahkiki iman. Caranya, dengan belajar dan berpikir. Cek dan ricek semua keraguan yang ada di dalam hati tentang keimanan. Lalu, mencari jawabannya dari sumber dan bimbingan yang benar.

Begitu juga halnya orang tua, ketika memberikan anaknya sebagai amanah kepada guru/sekolah harus disertai cek dan ricek yang baik dan benar.

Intelektual dan inspirator pendidikan Muhammad Fethullah Gulen pernah berkata dalam bukunya, "Orang tua tidak hanya perlu memenuhi kebutuhan jasmaniyah anak-anaknya, kebutuhan ruh dan jiwa anak-anaknya pun harus dipenuhi dengan menyerahkannya pada pendidik yang berkualitas dan terpercaya."

Jika orang tua sudah yakin dan percaya kepada pilihan guru/sekolah tempatnya akan menitipkan anaknya, maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengintensifkan komunikasi dengan guru/sekolah sebagai penerima amanah. Inilah yang seharusnya dilakukan orang tua.

Tentang Amanah Guru

Terkait masalah amanah siswa, bukan hanya orang tua yang memahami. Guru sebagai penerima amanah juga harus benar-benar bisa menjaga dan mementingkan amanah yang diberikan kepadanya.

Tugas seorang guru adalah memberikan hak-hak siswa dalam belajar dengan baik. Ketika melakukan ini, guru seharusnya bisa mengeluarkan segenap kemampuan semaksimal mungkin dengan penuh kelayakan. Artinya guru seharusnya bisa benar-benar serius dan memfokuskan diri dalam mendidik siswa.

Guru juga harus sering-sering mengontrol diri, melakukan evaluasi akan apa yang sudah dilakukannya. Idealnya, evaluasi dilakukan dengan mengkomunikasikannya kepada orang tua. 

Karena sejatinya, pendidikan akan berjalan lebih baik dengan peran serta aktif orang tua. Guru, siswa, dan orang tua seharusnya bisa menjadi segitiga emas pendidikan yang perlu terus dijaga komunikasi diantara ketiganya.

Peran guru seharusnya lebih dari sekedar penerima amanah yang sementara. Seperti yang kita tahu, amanah adalah titipan, dan titipan adalah sementara.

Sejatinya, siswa tidak dijadikan hanya sebagai amanah sementara. Guru seharusnya bisa menerimanya sebagai amanah yang berkelanjutan. 

Dalam dunia pendidikan ini disebut dengan pendidikan berkelanjutan (long life education). Artinya, sampai kapanpun, siswa akan menjadi amanah bagi gurunya, dan guru tak akan pernah berhenti mendidik sampai kapanpun.

Hubungan siswa dan guru dalam pendidikan formal bisa saja selesai dengan kelulusan dan ijazah, tetapi pendidikan hakiki berjalan sepanjang hayat. 

Alhasil, amanah menjadi sifat penting bagi orang tua dan guru. Orang tua dan guru yang amanah akan membawa keberhasilan pendidikan pada siswa. 

Amanah bisa berjalan dengan baik jika hak-hak dalam amanah bisa diberikan dengan rasa tanggung jawab yang tinggi. Inilah salah satu kunci keberhasilan pendidikan yang perlu kita pahami.

[Baca Juga: Pendidikan Memberimu Sayap untuk Terbang]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun