"Saya titip anak saya untuk dididik ya Pak," ujar seorang orang tua kepada salah seorang guru. Perkataan seperti ini mungkin sering didengar guru ketika bertemu orang tua siswa.
Sudah pasti, orang tua tidak main-main mengucapkan kata itu. Dengan menitipkan anaknya berarti orang tua sudah memberikan kepercayaan penuh kepada guru/sekolah.
Dalam KBBI, kata "titip" memiliki arti menaruh (barang dsb) supaya disimpan (dirawat, disampaikan kepada orang lain, dsb). Dalam hal ini, sesuatu yang dititipkan menjadi sebuah amanah yang dipercayakan.
Secara etimologis, kata amanah berasal dari bahasa Arab yang memiliki akar yang sama dengan kata iman. Ini artinya, amanah itu perlu disertai dengan keimanan, kepercayaan.
Layaknya iman, kepercayaan tidak hanya cukup pengakuan pada ucapan lisan saja, perlu adanya pembenaran dengan hati, dan pastinya diamalkan dengan tindakan atau perbuatan.
Tentang Amanah Orangtua
Menyoal perkataan orang tua yang saya sebutkan diawal, timbul sebuah pertanyaan, apakah orang tua yang menitipkan anaknya kepada guru sudah benar-benar memberikan kepercayaan penuh kepada guru? Apakah orang tua sudah benar-benar memahami makna amanah yang diberikannya kepada guru?
Jawabannya, bisa "ya", bisa juga "tidak". Terkadang ada orang tua yang ingin memaksakan kehendaknya sendiri. Anak saya harus begini, anak saya harus begitu, tanpa menghiraukan perencanaan dan kebijakan dari guru/sekolah.
Meskipun peran serta orang tua memang perlu dalam dunia pendidikan, tetapi jika harus memaksakan kehendak, rasanya tidak pas. Kontrol orang tua memang perlu, tetapi jika harus intervensi kebijakan guru/sekolah, rasanya kurang cocok.
Apalagi bagi orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah berbayar, terkadang orang tua merasa bisa begitu superior, merasa bisa melakukan apa saja, mencampuri proses pendidikan di sekolah karena merasa dirinya sudah membayar. Jika sudah seperti ini, hancur sudah makna pendidikan.
Lantas, apakah orang tua harus menerima saja apa yang dilakukan guru/sekolah, tanpa harus ikut campur?