Sayap itu ada dua. Sayap pertama berhubungan dengan karakter, diwakili dengan kompetensi spiritual dan sosial. Sayap kedua berhubungan dengan akademik, diwakili dengan kompetensi pengetahuan dan keterampilan.
Berkenaan dengan ini, seorang intelektual dan ispirator pendidikan Muhammad Fethullah Gulen pernah berkata dalam bukunya, "Ada tiga bentuk pendidikan; sains, humaniora, dan religius, yang saling melengkapi dan perlu bekerja sama untuk membentuk manusia yang sempurna dan agung."
Jika kita perhatikan, ketiga bentuk pendidikan yang dikatakan Gulen juga mempunyai dua dimensi sayap pendidikan yang saya maksud. Sains dan humaniora yang menggambarkan akademik, sedangkan religius menggambarkan karakter, moral, dan sikap.
Menurut Gulen, kedua sayap ini harus saling melengkapi dan perlu bekerja sama. Yang satu tidak boleh dilebihkan dari yang lain. Bukankah tak ada burung yang terbang dengan satu sayap?Â
Guru harus benar-benar memperhatikan kedua hal ini dalam mendidik, baik secara formal maupun informal, baik di dalam kelas, maupun di luar kelas.
Ketimpangan dalam Pendidikan
Namun sayangnya, ada ketimpangan dalam pendidikan kita. Terkadang guru lebih berfokus pada nilai-nilai akademik, dan sedikit mengabaikan, kalau tidak mau dibilang melupakan, nilai-nilai spiritual dan sosial.
Coba perhatikan, ketika mengisi rapor, nilai akademik diperhatikan dengan sangat mendetail. Nilai dihitung dengan teliti, satu per satu. Sayangnya hal yang sama tidak dilakukan ketika memberikan nilai kompetensi spiritual dan sosial.
Memang, nilai spiritual dan sosial bukanlah nilai-nilai yang dengan mudah bisa diukur dengan angka, apalagi harus dinilai dengan prosedur yang sama dengan nilai akademik, rasanya tidak sesuai.
Sebenarnya, yang lebih penting daripada nilai adalah proses pendidikan itu sendiri. Jika proses akademik terjadi sebagian besar di dalam kelas, maka proses pembentukan karakter, moral, dan sikap seharusnya lebih banyak terjadi di luar kelas.
Kompetensi spiritual tidak cukup diajarkan dengan memulai pelajaran dengan berdoa. Kompetensi sosial tidak cukup dengan hanya memberikan tugas kelompok dan diskusi di dalam pembelajaran. Sejatinya, itu hanyalah pendidikan spiritual dan sosial yang ada di permukaannya saja.
Oleh karenanya diperlukan pendidikan yang lebih komprehensif dan mendalam, pendidikan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, pendidikan yang harus bisa keluar dari kungkungan kelas. Kelas terasa begitu sempit dan kecil untuk bisa memberikan nilai-nilai spiritual dan sosial.