Jika kita pikir secara mendalam ada benarnya juga apa yang dikatakan kawanku itu. Berbagai macam hal diperingati, berbagai macam momen dan hari di deklarasi. Terkadang saya berpikir, hampir setiap hari ada saja yang diperingati dan dirayakan.
Apakah ini penting? Apakah ini perlu? Menurut saya ya, ini penting dan perlu. Namun, berbagai macam peringatan itu, jangan dijadikan sebagai hanya seremonial belaka. Seharusnya ada nilai yang perlu diperingati, direnungi dan dihayati.Â
Saya setuju dengan perkataan Prof Wiku pada konferensi pers kemarin. Beliau menggunakan kata-kata "momentum, refleksi dan menyemarakkan". Dan saya setuju juga dengan kawan saya yang menggunakan kata "Menghayati" pada tayangan statusnya.Â
Dalam agama, kita menyebutnya muhasabah. Ulama Muhammad Fethullah Gulen mengartikan muhasabah sebagai tindakan seorang mukmin melihat kembali amalnya setiap hari dan setiap saat, baik berupa kebaikan maupun keburukan, baik berupa kebenaran maupun kesalahan, baik berupa dosa maupun pahala; kemudian ia meneliti semua itu secara lebih dalam, mensyukuri kebaikan yang muncul darinya, beristighfar untuk menghilangkan dosa dan kekeliruan, bertobat, menyesal, serta memperbaiki semua kesalahan dan kekeliruan yang dilakukannya.
Ya, itulah sejatinya makna hari peringatan. Peringatan seharusnya bisa dijadikan sebagai sebuah dimensi muhasabah. Bukan hanya merayakan, tetapi peringatan juga bermakna momentum, refleksi dan penghayatan. Sayangnya tiga hal yang terakhir sering kita lupakan.
Dalam rangka menyeimbangkan, rasanya momentum, refleksi, dan penghayatan seharusnya dipahami lebih mendalam pada setiap hari-hari peringatan.Â
Caranya, Hari-hari peringatan, selain kita memperingatinya dengan perayaan seharusnya kita juga bisa menganggapnya sebagai sebuah "surat peringatan" bagi kita.
"Surat peringatan" berfungsi sebagai pengingat, penegur. Ibarat lampu lalu lintas, surat peringatan adalah lampu kuningnya. Lampu yang menjadi penyeimbang antara kebaikan dan keburukan. Mengingatkan kita akan keburukan dan memotivasi kita melakukan kebaikan.
Sebuah Refleksi
Maka, Hari Kesehatan Nasional dan Hari Ayah Nasional yang kemarin kita peringati sejatinya bisa menjadi momentum bagi kita bangkit dari keterpurukan, terutama menghadapi masa resesi ekonomi dan kedaruratan kesehatan di masa pandemi, mengingatkan kita bahaya pandemi, dan memotivasi kita dalam menghadapinya.
Seorang Ayah seharusnya mampu menjaga kesehatan dirinya untuk tetap produktif di masa pandemi, produktif menghidupi dan melindungi keluarganya di masa resesi ekonomi. Seorang Ayah seharusnya mampu menjaga kesehatan seluruh anggota keluarganya dengan baik.Â
Seorang Ayah juga seharusnya mampu memberi teladan yang baik di masyarakat agar bisa menghadapi pandemi ini dengan akal sehat, tidak pesimistis apalagi sampai terpuruk dan depresi. Inilah refleksi dan penghayatan yang seharusnya dilakukan.