Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Revolusi Akhlak Vs Revolusi Mental

12 November 2020   05:28 Diperbarui: 28 April 2021   19:54 2539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab kembali ke Indonesia hari Selasa (10/11/2020). Kedatangannya disambut meriah para pendukungnya yang telah menunggu cukup lama momen penting ini.

Kira-kira 3,5 tahun sang Habib berada di Arab Saudi. Keberangkatan Habib Rizieq ke Arab Saudi memang bernuansa politik. Maklum Habib Rizieq sangat vokal mengkritik pemerintah pada waktu itu. Nama Habib Rizieq memang melambung setelah menjadi garda terdepan pada aksi bela Islam tahun 2016.

Habib Rizieq dan Revolusi Akhlak

Karena sikap vokalnya dalam mengkritik pemerintah, Habib Rizieq dijerat beberapa kasus hukum yang dilaporkan oleh orang-orang yang tidak suka terhadap apa yang dilakukannya. Konon katanya ada beberapa kasus hukum yang diklaim sudah dihentikan penyidikannya.  

Kepulangannya membawa angin segar bagi para pendukungnya. Habib Rizieq digadang-gadang sebagai sosok pahlawan yang akan bisa membela rakyat kecil dari kezaliman. Tak lama setelah tiba di tanah air, Habib Rizieq berorasi dan mengajak para pendukungnya melakukan "Revolusi Akhlak."

Pastinya, istilah "Revolusi Akhlak" menjadi tandingan istilah "Revolusi Mental" milik Pak Jokowi. Tak pelak Istilah ini terkesan menjadi "kritik" bagi pemerintah yang dipimpin oleh Pak Jokowi. Menarik untuk melihat apa yang dimaksud dengan "Revolusi Akhlak" sang Habib.

Istilah revolusi akhlak dan revolusi mental memang berbeda. Habib Rizieq sebagai seorang ulama mengatakan bahwa kata "revolusi akhlak" dipilih karena kata "akhlak" dipakai oleh Nabi SAW. Konon katanya, istilah "Revolusi Mental" itu digunakan Karl Marx, pencetus marxisme, yang merupakan akar dari komunisme.

Akhlak dalam bahasa Arab berasal dari kata khuluk yang berarti tingkah laku, perangai, atau tabiat. Secara terminologi, akhlak adalah tingkah laku seseorang yang didorong oleh sesuatu keinginan secara mendasar untuk melakukan suatu perbuatan.

Sementara itu, menurut Imam Al Ghazali, akhlak merupakan tingkah laku yang melekat pada diri seseorang yang dapat memicu perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.[1]

Menyoal Kata "Revolusi"

Mari kita sandingkan istilah "Revolusi Akhlak" dan "Revolusi Mental". Memang ada perbedaan pada kedua istilah ini. Tetapi yang menarik adalah ada kesamaan kata yang digunakan, keduanya sama-sama menggunakan kata "Revolusi".

Dalam KBBI, ada beberapa makna revolusi. Dalam konteks ini, yang paling tepat revolusi diartikan sebagai perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang. 

Revolusi berbeda dengan reformasi. Reformasi adalah perubahan yang lebih terencana dan teliti. Revolusi juga berbeda dengan evolusi. Revolusi berjalan cepat, sedangkan evolusi perubahan yang terjadi lebih lambat.

Biasanya revolusi memang identik dengan kecepatan prosesnya. Karena revolusi melakukan perubahan secara mendasar. 

Logikanya, jika kita ingin mengubah bangunan dari dasarnya, maka kita tidak mesti berpikir lagi bagaimana menghancurkannya. Kita bisa langsung menghancurkan langsung dari pondasinya. Ini memerlukan waktu yang relatif cepat.

Coba bandingkan jika kita harus mengubah bangunan tidak dari dasarnya. Perlu memikirkan mana yang harus dipertahankan, mana yang harus dihancurkan, dan juga harus juga dipikirkan bagaimana cara menghancurkannya agar bagian yang ingin dipertahankan tidak ikut hancur.

Ya, kecepatan memang penting, apalagi di era perkembangan teknologi digital seperti sekarang. Segala sesuatunya dibuat serba instan dan cepat. Tanpa kecepatan kita akan ketinggalan. Oleh karenanya, lebih cepat, lebih baik.

Kecepatan Revolusi

Pertanyaannya adalah apakah revolusi yang dimaksud dimana diharapkan adanya perubahan mendasar bisa dilakukan dalam waktu yang cepat?

Sebenarnya, dalam melakukan perubahan mendasar pada akhlak, mental, moral, karakter, budi pekerti dan hal-hal lain yang berhubungan dengan ini terdapat dua tahapan proses yang terjadi. 

Proses tahap pertama adalah menghancurkan bangunan lama dengan pondasi-pondasinya. Tahap kedua membangun kembali bangunan dengan pondasi yang baru. Tahap menghancurkan bisa dilakukan dengan cepat, untuk membangun kembali memerlukan waktu yang lebih lama.

Jadi, jika revolusi kita pahami seperti ini, maka revolusi seharusnya dilakukan dalam waktu yang lama. Karena yang menentukan keberhasilan revolusi bukanlah hanya menghancurkan pondasi yang lama, tetapi juga membangun pondasi tatanan baru yang lebih baik.

Intinya, yang berlangsung lambat itulah yang menentukan, bukannya yang cepat. Bukankah inti dari perubahan adalah membawa sesuatu yang lebih baik?

Dalam ilmu kimia hal ini begitu jelas terlihat pada konsep kelajuan (kecepatan) reaksi. Dalam laju reaksi ada istilah yang dikenal dengan sebutan "rate determining step" atau "tahap penentu kelajuan". Tahap ini bisa dilihat dan dijelaskan dengan memahami mekanisme suatu reaksi. 

Misalnya, dalam suatu reaksi terdapat dua tahap reaksi pada mekanisme reaksinya. Tahap pertama berjalan cepat, tahap kedua berjalan lambat. Maka, hukum laju reaksi, yang akan menentukan laju reaksi, harus ditentukan berdasarkan tahap reaksi yang lambat, bukan yang cepat. Tahap yang lambat inilah yang akan menentukan laju keseluruhan reaksi.

Hal ini kita bisa dianalogikan seperti sebuah perlombaan lari. Perlombaan lari akan selesai ketika peserta terakhir, yang sudah pastinya peserta yang paling lambat, mampu menyentuh garis finish.

Dari sini kita pahami, revolusi yang seharusnya terjadi memerlukan waktu yang tidak cepat. Apalagi jika kita mau merevolusi akhlak atau mental pastinya akan memakan waktu yang lama. Yang perlu dilakukan cepat adalah tindakan kita untuk memulai revolusi. Itu yang harus segera dilakukan sebelum masalah akan menjadi semakin besar.

Alhasil, jika dilihat dari sudut pandang agama, revolusi akhlak memang perlu, tetapi hal ini tidak berarti revolusi mental tidak perlu. Mungkin revolusi mental adalah bagian dari revolusi akhlak itu sendiri.

Yang jelas, kedua revolusi semestinya dilakukan dengan cepat dan juga lambat. Kita harus cepat bergerak memulainya, tetapi jangan dipaksakan dan terburu-buru ingin melihat hasilnya, perlu menunggu waktu yang lebih lama. 

Yang perlu kita lakukan adalah untuk bisa bersabar dalam melakukan proses perubahan, karena biasanya perubahan tidak instan, perlu waktu yang lama untuk menghasilkan perubahan yang benar-benar bisa dirasakan manfaatnya. Perlu diingat, yang instan itu biasanya enak diawal tapi efeknya bisa berbahaya.

[Baca Juga: Setiap Kita adalah Pahlawan]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun