Di masa pembelajaran daring ini, bisa dibilang yang paling rentan menghadapi permasalahan mungkin  siswa kelas X sebagai new comer di sekolah.
Meskipun tidak sepenuhnya benar, paling tidak itu pengalaman empiris yang saya rasakan selama mengikuti proses pembelajaran daring di sekolah kami.
Penyesuaian Terhadap Sekolah Baru
Berdasarkan analisis saya, permasalahan utamanya adalah berkenaan dengan penyesuaian (adjustment). Sekolah baru, lingkungan baru, guru baru, dan teman baru menuntut siswa kelas X untuk menyesuaikan diri dari awal. Mereka juga dituntut melakukannya dalam waktu yang singkat.
Penyesuaian tidak hanya sekedar adaptasi fisik, tetapi juga adaptasi sosial dan adaptasi penguasaan diri dari berbagai permasalahan yang mungkin terjadi pada masa transisi.
Siswa seusia mereka memang sedang berada pada masa-masa transisi. Masa transisi dari dunia anak-anak menuju dunia remaja.Â
Seperti kita semua ketahui, masa remaja adalah masa yang sangat krusial dan rentan terhadap permasalahan. Karena sedang melakukan pencarian jati diri, remaja cenderung labil, goyah dan mudah untuk terbawa kepada hal-hal yang tak diinginkan.Â
Permasalahan yang signifikan terlihat bagi mereka di era pembelajaran daring adalah masalah penyesuaian. Pada era pendidikan normal pun masalah penyesuaian ini terkadang memerlukan usaha khusus untuk menanganinya, dan terkadang bagi sebagian anak memerlukan waktu yang tidak singkat.
Dalam kondisi pembelajaran daring dimana semua kegiatan sekolah harus dilakukan secara virtual, pastinya akan semakin mengganggu proses penyesuaian yang dilakukan.Â
Kegiatan virtual terasa tidak dapat memenuhi kebutuhan siswa baru untuk bisa segera menyesuaikan diri. Ini terjadi tidak hanya pada satu atau dua siswa, tetapi hampir pada seluruh siswa.
Bahkan, permasalahan menjadi semakin rumit dengan munculnya berbagai permasalahan baru yang belum pernah dihadapi dan diperkirakan sebelumnya.
Beberapa Permasalahan PenyesuaianÂ
Membahas tentang masalah penyesuaian siswa baru, berikut adalah beberapa hal perlu diketahui dan diperhatikan oleh guru dan orang tua.
Pertama, dalam masa penyesuaian dengan sekolah baru, yang paling sulit dilakukan siswa adalah membangun atmosfer sekolah ke dalam rumah. Yang lebih membuat sulit adalah atmosfir sekolah yang benar-benar baru untuk siswa.Â
Tak bisa dipungkiri, pembelajaran daring menuntut rumah menjadi sekolah baru bagi siswa. Mungkin, sebagian dari siswa, baru satu atau dua kali datang ke sekolah yang baru ini. Memahami budaya sekolah baru, pastinya tidak akan mudah tanpa bisa membayangkan, apalagi menghadirkan suasana sekolah ke dalam kejiwaan mereka yang fisiknya berada di rumah.
Tempo dan ritme pembelajaran daring yang notabenenya adalah metode baru bagi siswa, ditambah lagi pertemuan di ruang virtual yang mungkin diisi oleh orang-orang baru, yang mungkin belum pernah mereka temui secara langsung sebelumnya, membuat siswa baru rentan akan dihinggapi kebosanan.Â
Jika sudah bosan, motivasi belajar akan menurun. Keadaan ini akan diperparah ketika kondisi di rumah yang kurang menunjang.
Terkadang, tidak adanya infrastruktur belajar yang memadai dan longgarnya kontrol dari orang tua di rumah membuat siswa semakin terbawa pada suasana yang tidak menentu. Atmosfer dan suasana sekolah tidak terbentuk, motivasi belajar pun akan sulit dibangkitkan.
Kedua, gadget yang menjadi alat bantu belajar baru menggantikan buku dan papan tulis terkadang sulit dikontrol penggunaannya. Siswa rentan untuk menyalahgunakan fasilitas gadget yang sebenarnya diperuntukkan untuk belajar.
Sebabnya adalah siswa baru belum memiliki teman yang bisa diajak untuk bermain atau sekedar melepas kebosanan dan kepenatan.
Akhirnya, yang sering terjadi adalah siswa kebablasan dalam menggunakan gadget. Penggunaan media sosial dan game online menjadi candu yang mungkin akan sangat mengganggu pembelajaran siswa.
Ketiga, kedekatan emosional dan sosial antar individu di kelas sulit untuk direalisasikan. Antar satu siswa dengan siswa yang lain tidak saling mengenal, siswa dan guru juga tidak saling mengenal.
Meskipun pembelajaran di ruang virtual dilakukan dengan intensitas yang mungkin tidak jauh berbeda seperti halnya dengan pembelajaran normal, tidak adanya tatap muka secara langsung menyebabkan komunikasi, kedekatan emosi dan sosial tidak berjalan sempurna.
Siswa mungkin akan saling mengenal secara fisik, meski hanya sekedar melihat muka di dalam layar, atau mungkin saling mengenal dari bunyi khas suaranya masing-masing, tetapi untuk mengetahui karakter dan kepribadian siswa yang lain akan sulit sekali dilakukan dan bahkan sulit juga untuk dirasakan.
Akhirnya, tidak terbangun chemistry dalam berinteraksi, bahkan mungkin akan terjadi kesalahan persepsi dari satu siswa ke siswa yang lain. Ketika ini terjadi, konflik akan sangat mudah tersulut diantara siswa.
The Sum of Details
Lantas bagaimana solusinya untuk mengatasi ini semua?
Koordinasi antara guru dan orang tua sangat berperan penting untuk menangani permasalahan ini. Hal-hal detail perlu direncanakan dan dilakukan.
Guru perlu membuatkan pedoman kegiatan yang jelas dan mendetail untuk siswa selama kegiatan belajar dan mengajar (KBM) berlangsung. Peraturan, jadwal dan tata cara mengikuti pembelajaran daring perlu dikomunikasikan dengan gamblang kepada siswa.
Disisi lain, guru dan orang tua perlu duduk bersama untuk bisa menata kegiatan siswa diluar KBM. Kegiatan bimbingan karakter, seminar, pemantapan pelajaran, maupun kegiatan ekstrakurikuler perlu dibuatkan jadwal yang teratur dan terprogram dengan baik. Peran orang tua adalah mengontrol dengan seksama kegiatan-kegiatan yang sudah dijadwalkan.
Secara berkala guru dan orang tua perlu bertemu untuk mengevaluasi performa siswa dalam mengikuti semua kegiatan, baik kegiatan KBM maupun kegiatan diluar KBM.
Guru dan orang tua juga dituntut untuk bisa memikirkan dan membuat kegiatan-kegiatan virtual yang lebih bersifat santai, diluar kegiatan formal kependidikan. Kegiatan-kegiatan santai ini diharapkan bisa mempertemukan siswa-siswa dan guru lebih sering lagi. Tujuannya adalah membangun chemistry, kedekatan emosi dan sosial.
Terkadang orang tua juga diharapkan bisa membantu siswa untuk bisa membangun atmosfir dan suasana sekolah di rumah. Secara fisik, orang tua bisa menyediakan infrastruktur belajar yang memadai. Jika memungkinkan membuat dekorasi mini kelas di rumah atau di kamar siswa, mungkin bisa menjadi salah satu alternatif solusi.
Secara psikologi, di waktu-waktu senggang mungkin orang tua bisa mengajak siswa sesekali datang ke sekolah. Sudah pastinya hal ini dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan yang dianjurkan. Masuk ke lingkungan sekolah atau sekedar duduk-duduk di taman sekolah mungkin bisa menghidupkan suasana dan atmosfer sekolah pada diri siswa.
Alhasil, pandemi memang menyulitkan, tetapi bisa kita siasati. Saya teringat motto dari sebuah biro konsultan pendidikan yang berbunyi "Success is the sum of details", jika diterjemahkan kira-kira artinya "Kesuksesan adalah akumulasi dari hal-hal detail yang dilakukan".
Oleh karenanya, yang perlu dilakukan untuk bisa sukses mendidik dan membina siswa baru di era pendidikan daring adalah perlu adanya tindakan nyata yang direncanakan secara detail. Ini memerlukan pemikiran dan usaha dari semua stakeholder pendidikan pastinya.
[Baca Juga: Proses Tak Terlihat pada Hasil, tetapi Menentukan Hasil]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H