Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mana yang Seharusnya Lebih Difokuskan?

20 Oktober 2020   16:00 Diperbarui: 21 Oktober 2020   09:07 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Otak Manusia(SHUTTERSTOCK/Okrasiuk via kompas.com)

Seorang kawan guru pernah berkata, "Selama satu semester, saya tidak mengajarkan siswa materi pelajaran, saya hanya mengajarkan mereka bagaimana duduk yang baik ketika belajar di kelas."

Mungkin perkataan kawanku itu terkesan hiperbola, tetapi ada makna yang dalam dari perkataannya itu.

Orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin dalam waktu satu semester tidak mengajarkan materi pelajaran? Apa yang dilakukannya di kelas? Apakah mengajarkan siswa duduk yang baik perlu waktu begitu lama? Bagaimana siswa menghadapi ujian nantinya? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan.

Mengaktifkan Otak Bawah Sadar

Menurut saya, maksud perkataan kawanku itu adalah bahwa dia lebih mementingkan bagaimana mendidik siswa cara belajar dengan baik ketimbang hanya sekedar mengajarkan materi kepada siswa. 

Hal ini jangan diartikan bahwa dia tidak mengajarkan materi sama sekali. Yang benar adalah dia lebih memfokuskan diri dengan membangun pendidikan karakter pada siswa.

Cara duduk siswa ketika belajar di kelas adalah termasuk adab dalam belajar. Adab belajar termasuk pendidikan karakter. Berarti, mengajarkan cara duduk adalah bagian mendidik karakter. Bukankah dalam kurikulum kita, karakter menempati tempat yang penting?

Dilihat dari ilmu komunikasi berbasis Neuro-Linguistic Programme (NLP) - sebuah ilmu yang menggunakan pendekatan penyusunan kata-kata sehingga bisa masuk kedalam jiwa seseorang-, apa yang dilakukan kawanku ini adalah usaha mengaktifkan otak bawah sadar siswa.

NLP membagi otak manusia menjadi dua bagian, otak sadar dan otak bawah sadar. Otak yang memiliki bagian sadar akan berpikir lebih objektif sedangkan otak yang dibawah sadar akan mengatur bagaimana anda berperilaku, berkata, berpikir dan bertindak terhadap respon yang datang. Dari sini dipahami bahwa karakter adalah bagian dari otak bawah sadar seseorang.

Pergumulan antara aspek kognitif, keterampilan dan afektif/karakter memang selalu menjadi dilema bagi seorang guru. Mana yang harus didahulukan, kognitif, keterampilan atau karakter? Kalaupun harus diintegrasikan, bagaimana caranya?

Sebenarnya, kurikulum kita sudah menuntun para guru untuk memasukkan kecakapan abad ke-21 yang meliputi 4C (critical thinking, creativity, collaboration, communication) ke dalam pembelajaran. 

Itu artinya guru dituntut mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam pembelajaran. Karena sejatinya 4C lebih banyak mengedepankan aspek afektif/karakter siswa.

Namun, karena tuntutan kurikulum lebih mengarah kepada aspek kognitif dan keterampilan siswa, akhirnya pendidikan karakter hanya menjadi formalitas belaka. Nilai-nilai 4C terlalu difokuskan untuk mengejar aspek kognitif dan keterampilan siswa, sedangkan aspek afektif cenderung dianak tirikan.

Dengan mengucap salam dan berdoa, seolah-seolah nilai-nilai religius telah diberikan. Nilai-nilai moral dan sosial banyak diberikan dengan mengandalkan persepsi saja, tanpa adanya patokan dan acuan yang jelas. Jadilah nilai-nilai pendidikan karakter menjadi sangat bersifat subjektif.

Akhirnya, yang terjadi adalah siswa lebih banyak diajarkan untuk mengidentifikasi, menganalisis, membandingkan, memutuskan tanpa dibarengi dengan mengajarkan kebiasaan, emosi, kepribadian, nilai-nilai moral dan kepercayaan.

Jika guru hanya mementingkan aspek kognitif dan keterampilan tanpa memberikan nilai-nilai tambahan di dalam kelas, maka sejatinya guru tersebut sedang memberikan ilmunya hanya pada otak sadar siswa saja.

Ketika ini terjadi, siswa akhirnya akan menganalisis dan membanding-bandingkan. Lebih bahayanya, kalau gurunya sendiri yang dibanding-bandingkan. Guru ini lebih asyik, guru ini lebih enak, guru ini lebih mudah dipahami. 

Sebaliknya, ketika guru mampu menjangkau otak bawah sadar siswa, maka yang terjadi adalah  guru akan bisa merubah kebiasaan, merubah emosi/perasaan siswa, menanamkan nilai pada diri siswa. 

Guru yang seperti ini akan menjadi idola siswanya, guru yang disenangi siswanya. Jika siswa sudah suka, mengajarkan materi pun akan lebih mudah, karena siswa akan lebih menerima kehadiran guru di dalam kelas.

Mengaktifkan Reticular Activating System (RAS)

Lantas, bagaimana kedua bagian otak akan diatur untuk bisa lebih baik lagi?

Ya, mengaktifkan kedua otak belumlah cukup. Keduanya harus bisa diintegrasikan. Harus ada transfer informasi antar kedua otak.

Kuncinya adalah dengan menghidupkan filter Reticular Activating System (RAS), yang ada di antara otak sadar dan otak bawah sadar. Membuka dan menutupnya filter RAS akan sangat menentukan arus informasi dari otak sadar ke otak bawah sadar maupun sebaliknya.

Filter RAS hanya bisa dibuka dengan perasaan relaksasi, tenang, gembira dan bahagia. Sebaliknya, perasaan depresi, tekanan, ketidaknyamanan, panik dan gugup akan menutup filter RAS pada otak manusia.

Oleh karenanya, jika guru ingin mengaktifkan dan mengintegrasikan otak sadar dan otak bawah sadar siswa secara bersamaan, maka yang harus dilakukan adalah membuka filter RAS pada otak siswa dengan membuat suasana menyenangkan dalam pelajaran di kelas.

Alhasil, banyak hal yang berhubungan dengan pendidikan karakter yang sering terlupakan, sering disepelekan. Guru sering terlalu fokus untuk mengejar aspek kognitif pada diri siswa. Padahal mendidik karakter itu lebih sulit dari hanya sekedar mengajarkan aspek kognitif pada siswa. 

Jadi, mana yang seharusnya lebih difokuskan? Rasanya yang dilakukan kawanku itu benar adanya.

[Baca juga: "Habis Nangis Ketawa, Makan Gula Jawa"]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun