"Materi ini sulit, kalian harus banyak melakukan latihan soal!" Itu yang biasa guru katakan kepada siswa untuk memotivasi mereka belajar.
Apakah ada yang salah dari kalimat diatas? Rasanya tidak bukan? Tidak ada kata yang jelek di dalamnya, tidak ada kata menghina, mengejek, tidak ada kata yang mengandung unsur suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), maknanya pun baik-baik saja.
Namun, dalam ilmu public speaking, kalimat tersebut tidak tepat. Seharusnya kalimat itu dikatakan seperti ini: "Materi ini tidak mudah, kalian perlu banyak melakukan latihan soal!"
Terlihat tidak banyak perbedaan. Hanya ada sedikit perubahan. Yang berubah adalah kata "sulit" dan "harus" diganti dengan kata "tidak mudah" dan "perlu". Mengapa begitu? Konon katanya kata "sulit" dan "harus" dan yang sejenisnya itu memiliki nada menekan kepada seseorang.Â
Public Speaking, Komunikasi, dan NLP
Dalam ilmu public speaking, untuk berkomunikasi baik dengan seseorang, speaker seharusnya mementingkan apa yang dirasakan oleh lawan bicara.Â
Berkomunikasi itu ibarat seni. Pagelaran seni bertujuan untuk menghibur audiencenya. Seniman sukses adalah seniman yang mampu mempengaruhi audiencenya, mampu membuat audience menikmati karya seninya.
Begitu juga ketika kita berbicara, kita seharusnya bisa mempengaruhi lawan bicara, membuat lawan bicara menikmati apa yang kita bicarakan, bukan justru malah tertekan. Ketika ada tekanan, kekuatan kata untuk bisa mempengaruhi seseorang pun akan menurun.
Orang yang tertekan cenderung tidak bisa berpikir jernih. Orang yang tertekan tidak akan memahami benar perkataan lawan bicaranya. Bahkan orang yang tertekan bisa jadi antipati terhadap lawan bicaranya.
Ilmu ini saya dapatkan dari pelatihan public speaking berbasis Neuro-linguistic programming (NLP) yang saya ikuti. NLP adalah ilmu yang menggunakan pendekatan penyusunan kata-kata sehingga bisa masuk kedalam jiwa seseorang.
Dilansir dari laman wikipedia.com, "NLP diciptakan oleh Richard Bandler dan John Grinder di California, USA pada tahun 1970-an. Penciptanya mengklaim adanya hubungan antara proses neurologi (neuro), bahasa (linguistic) dan pola perilaku yang dipelajari melalui pengalaman (programming) dan bahwa hal tersebut dapat diubah untuk mencapai tujuan tertentu dalam kehidupan."
"Kata" Mengubah Kehidupan
Mengutip perkataan pelatih kami, "Hati-hati dalam menggunakan "kata", karena "kata" bisa mengubah kehidupan."Â
Jika kita dalami perkataan itu dengan menggunakan NLP, maka akan terlihat hubungannya antara "kata" sebagai bagian dari linguistic, dan "mengubah kehidupan" sebagai bagian dari proses neurologi pola perilaku seseorang.
Lantas, dimana bagian programmingnya?Â
Ternyata, "kata" bisa mengubah kehidupan dengan sebuah proses. Proses yang memiliki beberapa langkah. Sebuah "kata" yang digunakan akan membentuk perasaan dan pikiran seseorang. Pikiran dan perasaan akan membuat seseorang mengambil keputusan. Keputusan akan membuat seseorang bertindak dan berbuat. Tindakan dan perbuatan itulah yang akan mengubah kehidupan seseorang.Â
Inilah programming yang dimaksud. Proses perubahan yang terjadi, dan itu bisa dipelajari dengan pengalaman.
Mari kita analisis penggunaan kata "sulit" dan "harus" yang sering digunakan guru kepada siswa, dan juga apa efeknya jika kata tersebut diubah.
Kata "sulit" dan "harus" yang diganti dengan kata"tidak mudah" dan "perlu" akan bisa mengubah pikiran dan perasaan siswa. Rasa penekanan berubah menjadi rasa keakraban dan kehangatan hubungan siswa dan guru.
Jika pikiran dan perasaan siswa sudah nyaman, maka akan terbentuk keputusan dalam diri siswa. Menyadari bahwa apa yang dikatakan guru itu benar. Menyadari bahwa memang perlu banyak melakukan latihan soal jika ingin menguasai materi tersebut.
Keputusan yang diambil akan mengarahkan siswa untuk bertindak dan berbuat. Tindakan dan perbuatan yang didasari oleh keputusan dalam diri sendiri akan lebih efektif. Tak ada tekanan, yang ada adalah dorongan dalam diri untuk melakukannya.
Sebaliknya, jika siswa merasa tertekan, maka siswa tidak akan bisa mengambil keputusannya sendiri. Karena tidak ada keputusan yang diambil, tindakan dan perbuatan pun tidak akan dilakukan. Kalaupun dilakukan tidak akan bisa maksimal.
Perlu diperhatikan, "kata" yang digunakan seorang guru bisa masuk ke pikiran sadar atau pikiran bawah sadar siswa. Jika "kata" masuk ke pikiran sadar, maka siswa akan memahami "kata" tersebut dengan otaknya. Siswa akan memahaminya sebagai sebuah perintah yang harus dilakukan.
Seharusnya, "kata" masuk ke dalam pikiran bawah sadar siswa. Dengan itu, siswa akan memahami "kata" tersebut dengan hatinya. Jika sudah masuk ke hati, maka siswa akan memahaminya sebagai sebuah inspirasi dalam kehidupannya.
Sebuah Refleksi
William A. Ward pernah berkata, "Guru biasa hanya memberitahu. Guru baik menjelaskan. Guru yang sangat baik menunjukkan. Guru hebat menginspirasi."
Jadi, jika mau menjadi guru hebat dan menginspirasi, mulailah dengan memperhatikan setiap "kata" yang keluar dari mulut kita.Â
Perlu diingat, mulutmu adalah harimaumu. Setiap "kata" yang keluar tidak akan bisa kita tarik kembali. Kelak, kita akan dimintai pertanggung jawaban akan apa yang kita katakan.
Jika perkataan kita bisa membawa energi positif pada orang lain, maka beruntunglah kita. Namun jika sebaliknya, bagaimana kita akan mempertanggung jawabkannya kelak?
Alhasil, hati-hatilah dalam berkata, pikirkanlah sebelum berkata. Kata yang memiliki efek yang kuat pada seseorang, keluar dari niat yang ikhlas dan tulus dalam mengatakannya. Niat yang tulus dan ikhlas itulah yang memberikan energi pada perkataan kita.
Apa seharusnya niat kita? Niat kita adalah untuk berkata yang baik dan benar. Jika tidak bisa berkata baik dan benar, lebih baik diam tanpa mengumbar kata-kata.
[Baca juga: Dan Keajaiban Itu Terjadi]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H