Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pancasila Sebuah Sinkretisme Ideologi

1 Oktober 2020   07:21 Diperbarui: 1 Oktober 2020   15:46 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pancasila (Dokumen Pribadi)

Setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Hari ini sangat berkaitan erat dengan peristiwa G 30 S PKI yang terjadi pada tahun 1965.

"Jangan perdebatkan lagi Pancasila. Mari kita jaga Pancasila sebagai ideologi negara". Kira-kira itu ungkapan yang cocok di tengah isu-isu miring tentang keberadaan Pancasila sebagai ideologi negara.

Memang sangat disayangkan dengan masih adanya  perdebatan mengenai Pancasila sebagai ideologi negara. Sebut saja perdebatan mengenai dibentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), perdebatan mengenai siapa yang paling pancasilais, dan yang terakhir perdebatan mengenai Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Jika kita dalami, pancasila bukan hanya sekedar ideologi, tetapi pancasila adalah sebuah sinkretisme ideologi. Sebagai sebuah ideologi memang pancasila terkadang bisa disalah pahami. Kesalahpahaman ini menjadikan nilai-nilai yang ada pada sila pancasila menjadi bias dan bisa membahayakan.

Kelima sila yang ada di dalam Pancasila memiliki ciri khas tersendiri. 

Sila pertama mengedepankan ketuhanan. Artinya nilai religius atau agama. Bisa dikatakan, sila ini adalah ruh pancasila. Wajar jika sila ini ditempatkan di sila pertama. Karena pentingnya sila ini, sempat terjadi perdebatan mengenai kalimat yang digunakan.

Bagi saya, agama bukanlah sebuah ideologi, walaupun sebagian orang menyebutnya ideologi teosentrisme. Agama tidak bisa disejajarkan dengan ideologi-ideologi buatan manusia. Agama adalah murni dari Tuhan. Inilah yang membuat nilainya begitu sakral.

Jika sila ketuhanan disalahpahami maka yang bisa terjadi adalah munculnya ideologi radikalisme dan terorisme. Kedua hal inilah yang sejatinya disebut ideologi. Karena keduanya buatan manusia dan bukan berasal dari agama. Tak ada agama yang mengajarkan radikalisme dan terorisme.

Sila kedua mengandung ideologi kemanusiaan/humanisme. Humanisme berhubungan dengan manusia, ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia memiliki akal dan rasio, manusia memiliki adab yang membuatnya berbeda dengan makhluk hidup yang lain.

Menyalahartikan sila ini bisa menimbulkan munculnya ideologi sekulerisme dan liberalisme. Sekularisme mencoba memisahkan agama dari pemerintahan/kehidupan. Liberalisme mengedepankan kebebasan. 

Kaum sekularis dan liberalis mementingkan humanisme dengan mengedepankan akal dan rasio. Diskursus tentang aborsi dan LGBT adalah salah satu contoh humanisme yang kebablasan. Humanisme yang menafikan cita rasa agama dan hanya mementingkan akal dan rasio.

Sila ketiga mengandung ideologi nasionalisme. Nasionalisme adalah rasa saling tolong-menolong, bantu-membantu dan bahu-membahu dalam kebersamaan sebuah negara. Negara kita menyebutnya dengan istilah gotong royong. Katanya gotong royong adalah ekasila yang merupakan perasan dari pancasila itu sendiri.

Nasionalisme yang berlebihan akan menyebabkan chauvinisme. Chauvinisme menganggap negaranya yang paling unggul. Dalam sejarah ada nazi di Jerman, fasisme di Italia ataupun nasionalisme bangsa Jepang. Di era globalisasi, chauvinisme sudah tidak memiliki tempat lagi dan memang sudah tidak relevan.

Sila keempat mengandung ideologi demokrasi. Sebagai negara republik, demokrasi menjadi harga mati. Masa kini di dunia tak ada sistem politik dan pemerintahan yang lebih baik daripada demokrasi. Demokrasi diperjuangkan di mana-mana. Yang paling aktual adalah demonstrasi pro demokrasi yang terjadi di Hong Kong, melawan diktator Tiongkok, dan gerakan pro demokrasi di Thailand, melawan sistem monarki.

Demokrasi yang tidak dirawat dengan baik akan menyebabkan tumbuhnya aristokrasi, yakni pemerintahan berada pada kelompok kecil masyarakat. Di beberapa negara, aristokrasi seakan menjadi bayangan sistem demokrasi yang diterapkan. Hasilnya adalah kediktatoran yang dibungkus dengan demokrasi. Tiongkok, Rusia, Belarusia dan Venezuela bisa dijadikan contohnya.

Sila kelima mengandung ideologi keadilan sosial. Sebenarnya inti ideologi ini adalah sosialisme. Sosialisme selalu mengutamakan kesejahteraan masyarakat, menempatkan masyarakat secara adil tanpa adanya pengkelasan atau perbedaan kasta.

Pondasi sosialisme yang lebih terstruktur diletakkan oleh Karl Marx. Karl Marx mengedepankan sosialisme untuk melawan kapitalisme yang ranum hingga abad ke-19. Pemikiran Karl Marx inilah yang lebih dikenal dengan ideologi Marxisme. 

Sayangnya, di indonesia sosialisme-marxisme diafiliasikan dengan komunisme. Sebenarnya, komunisme adalah gabungan dari ideologi marxisme dan leninisme.  Leninisme muncul di Uni soviet sebagai sebuah ideologi politik yang bertujuan mengambil kekuasaan dengan jalan revolusi.

Komunisme yang seperti inilah bentuk sosialisme yang berbahaya. Komunisme yang lebih mengedepankan hegemoni politik dan kekuasaan belaka, komunisme yang menafikan agama, komunisme yang mengedepankan jalan revolusi. Hal-hal itulah yang menyebabkan komunisme begitu dimusuhi di Indonesia.

Sejarah kelam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 dan 1965 semakin memperkuat dalil bahwa komunis tidak akan pernah diterima di negara kita.

Setelah 75 tahun Indonesia merdeka, Pancasila masih menjadi ideologi satu-satunya yang diterima di negara kita. Mungkin lebih tepatnya kita bisa katakan bahwa pancasila adalah ideologi yang menyatukan bangsa kita. 

Pancasila sebagai bentuk sinkretisme dari agama, humanisme, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial memang sepatutnya kita jaga dan tidak perlu kita perdebatkan.

Pancasila yang tidak bisa kita jaga akan disalah artikan. Konsekuensinya bisa membawa ideologi-ideologi yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa kita. Radikalisme, terorisme, sekularisme, liberalisme, chauvinisme, aristokrasi dan komunisme adalah ideologi-ideologi yang patut kita waspadai.

Alhasil, ideologi tidak akan pernah bisa dimatikan. Ideologi akan selalu menyertai sejarah bangsa ini, ideologi yang baik atau yang buruk akan selalu hidup di dalam kehidupan masyarakat kita. 

Ada baiknya kita bisa memahami ideologi-ideologi yang mungkin hidup di tengah-tengah kita. Tujuannya adalah agar kita tidak salah jalan dan terjerumus ke dalam ideologi yang bertentangan dengan Pancasila sebagai jati diri bangsa kita. 

[Baca Juga: Insecurity or Security?]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun