Kebakaran besar yang terjadi di Kamp Pengungsi Moria di pulau Lesbos Yunani seolah membuka mata masyarakat dunia tentang krisis pengungsi di Eropa yang sempat terlupakan dengan adanya bencana pandemi corona yang melanda dunia. [1]
Kebakaran yang meludeskan tempat kumuh kamp pengungsi dimana sekitar 13.000 pengungsi tinggal di dalamnya. Para pengungsi berasal dari berbagai negara, terutama negara benua Afrika, Timur Tengah dan Afganistan.
Krisis Pengungsi
Para pengungsi yang kehilangan tempat tinggalnya terpaksa harus tinggal di perkebunan dan di pinggir-pinggir jalan. Dengan membangun tenda seadanya mereka mencoba menyambung hidupnya. Panasnya siang dan dinginnya malam harus mereka hadapi. Kondisinya sangat menyedihkan dengan tidak tersedianya fasilitas umum dan sanitasi yang baik.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah banyaknya anak di bawah umur yang harus hidup pada kondisi ini. Sungguh sebuah pemandangan yang  jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Â
Pemerintah Yunani di tengah tekanan masyarakat lokal yang tidak terlalu setuju keberadaan pengungsi di daerahnya, mencoba mencarikan solusi. Pemerintah membangun tenda-tenda darurat yang rencananya akan dipermanenkan.
Para pengungsi sendiri memprotes kebijakan itu. Mereka mengharapkan Pemerintah Yunani memberi kebebasan kepada mereka untuk pergi ke negara-negara impian mereka. Negara-negara yang memiliki kebijakan yang lebih baik terkait penanganan pengungsi.
Kebijakan tentang pengungsi memang sudah lama menjadi pembahasan serius Uni Eropa. Pembahasan yang membelah negara-negara anggota dengan pendekatan yang berbeda-beda.
Negara-negara di garda terdepan, seperti Italia dan Yunani mengharapkan perhatian lebih dari negara-negara yang lebih maju di Eropa tengah dan utara, seperti Jerman, Prancis, Spanyol, Inggris dan Swedia.
Pelik memang masalah pengungsi ini. Terasa tak ada ujungnya. Selama masih ada gejolak di negara-negara kelas tiga, terutama yang berada di sekitar Eropa, krisis pengungsi akan terus berlanjut.
Selain itu, gemerlapnya Eropa dengan segala kenyamanan, kemegahan dan harapan kebahagiaan di dalamnya masih menjadi mimpi masyarakat di belahan bumi lainnya. Inilah yang membuat seakan krisis pengungsi ini tak akan pernah selesai.
Migrasi Burung Cerek Kernyut Pasifik
Sejatinya, kita bisa mengambil contoh migrasi yang seharusnya dilakukan dari burung cerek kernyut pasifik (The Pacific Golden Plover) yang bermigrasi dari Alaska ke Hawai untuk menghindari ganasnya musim dingin.Â
Dari Alaska ke Hawai berjarak sekitar 4.500 km. Burung cerek kernyut membutuhkan waktu kurang lebih 88 jam terbang nonstop untuk sampai ke tujuannya. Perjalanan ini membutuhkan kerja keras dan keberanian. Sebuah perjalanan yang pastinya akan sangat melelahkan.[Majalah Mata air Vol.7 no.26]
Sebelum melakukan migrasi, burung yang hanya memiliki berat badan 130 gram ini melakukan persiapan yang fantastis untuk bisa mengatasi rintangan yang akan dihadapinya. Ada dua hal yang menjadi rintangannya melakukan migrasi, yaitu masalah kecukupan energi dan navigasi.
Untuk kecukupan energi, burung cerek kernyut akan makan banyak dan menyimpan makanannya sebagai cadangan energi. Selain itu efisiensi terbang juga diperhatikan dengan cara menjaga kecepatan terbang konstan dan membentuk formasi V. Formasi V dibentuk untuk bekerja sama saling membantu sehingga mereka bisa terbang dengan energi seminimal mungkin.
Sedangkan untuk navigasi, mereka menggunakan kompas alami yang ada di dalam organ tubuhnya dan juga mengandalkan bantuan alam.
Dengan semua persiapan, perhitungan dan kecermatan, setiap tahunnya burung cerek kernyut melakukan migrasi dengan aman, tanpa adanya kendala yang berarti.
Sebuah Refleksi
Dalam konteks krisis pengungsi di Eropa, yang perlu diperhatikan adalah mengetahui akar permasalahan di bagian hulu tempat pengungsi ini berasal.Â
Para pengungsi kebanyakan bermigrasi dengan tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negara tujuan. Ada sebagian yang terpaksa mengungsi karena adanya gejolak sosiopolitik di negara asalnya.
Seperti halnya burung cerek kernyut yang menyelesaikan permasalahannya sebelum mereka memulai perjalanan migrasi, begitu juga Uni Eropa dan dunia seharusnya bisa menyelesaikan permasalahan sosiopolitik di negara asal pengungsi.Â
Baik di hulu maupun di hilir, resolusi mengenai krisis pengungsi ini semuanya akan mengarah kepada satu hal, yaitu kemanusiaan. Masyarakat Eropa yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kemanusiaan seharusnya lebih peka dengan kondisi ini.
Alhasil, membicarakan imigran memang seakan tidak ada urgensinya bagi kita di Indonesia. Memang negara kita tidak memiliki masalah dengan pengungsi. Memang negara kita bukan surganya imigran. Tetapi satu hal yang perlu diingat, masalah ini berhubungan dengan kemanusiaan.
 Di masa pandemi ini seolah kemanusiaan kita sedang diuji. Bukan hanya kita, tetapi seluruh dunia. Bukankah kemanusiaan ini menjadi tanggung jawab kita bersama? Kalau  makhluk Tuhan sekecil burung cerek kernyut saja bisa mengajarkan kemanusiaan, mengapa kita tidak?
[Baca juga:Â Ulama Ditusuk! Mari Lihat, Pikirkan, Renungi, dan Sikapi]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H