Sejatinya, kita bisa mengambil contoh migrasi yang seharusnya dilakukan dari burung cerek kernyut pasifik (The Pacific Golden Plover) yang bermigrasi dari Alaska ke Hawai untuk menghindari ganasnya musim dingin.Â
Dari Alaska ke Hawai berjarak sekitar 4.500 km. Burung cerek kernyut membutuhkan waktu kurang lebih 88 jam terbang nonstop untuk sampai ke tujuannya. Perjalanan ini membutuhkan kerja keras dan keberanian. Sebuah perjalanan yang pastinya akan sangat melelahkan.[Majalah Mata air Vol.7 no.26]
Sebelum melakukan migrasi, burung yang hanya memiliki berat badan 130 gram ini melakukan persiapan yang fantastis untuk bisa mengatasi rintangan yang akan dihadapinya. Ada dua hal yang menjadi rintangannya melakukan migrasi, yaitu masalah kecukupan energi dan navigasi.
Untuk kecukupan energi, burung cerek kernyut akan makan banyak dan menyimpan makanannya sebagai cadangan energi. Selain itu efisiensi terbang juga diperhatikan dengan cara menjaga kecepatan terbang konstan dan membentuk formasi V. Formasi V dibentuk untuk bekerja sama saling membantu sehingga mereka bisa terbang dengan energi seminimal mungkin.
Sedangkan untuk navigasi, mereka menggunakan kompas alami yang ada di dalam organ tubuhnya dan juga mengandalkan bantuan alam.
Dengan semua persiapan, perhitungan dan kecermatan, setiap tahunnya burung cerek kernyut melakukan migrasi dengan aman, tanpa adanya kendala yang berarti.
Sebuah Refleksi
Dalam konteks krisis pengungsi di Eropa, yang perlu diperhatikan adalah mengetahui akar permasalahan di bagian hulu tempat pengungsi ini berasal.Â
Para pengungsi kebanyakan bermigrasi dengan tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negara tujuan. Ada sebagian yang terpaksa mengungsi karena adanya gejolak sosiopolitik di negara asalnya.
Seperti halnya burung cerek kernyut yang menyelesaikan permasalahannya sebelum mereka memulai perjalanan migrasi, begitu juga Uni Eropa dan dunia seharusnya bisa menyelesaikan permasalahan sosiopolitik di negara asal pengungsi.Â
Baik di hulu maupun di hilir, resolusi mengenai krisis pengungsi ini semuanya akan mengarah kepada satu hal, yaitu kemanusiaan. Masyarakat Eropa yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kemanusiaan seharusnya lebih peka dengan kondisi ini.
Alhasil, membicarakan imigran memang seakan tidak ada urgensinya bagi kita di Indonesia. Memang negara kita tidak memiliki masalah dengan pengungsi. Memang negara kita bukan surganya imigran. Tetapi satu hal yang perlu diingat, masalah ini berhubungan dengan kemanusiaan.