Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kehilangan Tongkat di Musim Pilkada

12 September 2020   12:30 Diperbarui: 12 September 2020   12:26 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musim Pilkada (ANTARA FOTO/IRFAN ANSHORI via kompas.com, gambar sudah diolah)

Cukup satu kali kehilangan tongkat

Cukup satu kali

Jangan dua kali bersalah yang sama

Jangan dua kali

Itu adalah sepenggal lirik lagu berjudul "Kehilangan Tongkat" yang dipopulerkan raja dangdut Bang Haji Rhoma Irama.

Bang Haji (panggilan akrab Rhoma Irama) memang selalu menulis syair lagu yang berisi pesan kehidupan yang berlandaskan agama. Sesuai dengan motto beliau, "Nada dan Dakwah." Bernyanyi sambil berdakwah atau berdakwah menggunakan musik.

Melakukan Kesalahan adalah Kodrat Manusia

Bukan Bang Haji yang mau saya bicarakan, tetapi lirik yang ada pada penggalan lagu tersebut. Ya, benar kata Bang Haji, cukup satu kali kehilangan tongkat. Maknanya, cukup sekali melakukan kesalahan, jangan sampai terulang.

Memang, sudah menjadi kodrat manusia untuk melakukan kesalahan. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Sesuai dengan asal kata manusia, yang berasal dari kata insan yang artinya lupa. 

Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kalau kita melakukan kesalahan yang sama lagi, berulang-ulang?

Jika berdasarkan prinsip lupa, maka sah-sah saja melakukan kesalahan yang sama. Namanya juga lupa yang sudah menjadi kodrat manusia. Orang yang lupa biasa mendapatkan toleransi atau keringanan.

Tetapi bagaimana kalau selalu lupa? Nah, ini yang tidak boleh. Melanjutkan lirik lagu Bang Haji, "Tapi kalau selalu lupa, itu mah disengaja." Yang seperti ini yang tidak baik di mata Tuhan, kelak nanti akan ada balasannya.

Nah, sekarang banyak orang yang terjebak dengan kondisi ini. Merasa lupa, lupa dan lupa lagi. Tak sadar bahwasanya dia menyengajakan dirinya melakukan kesalahan dengan ke"lupa"annya itu. 

Dalam agama yang seperti ini disebut ghaflah. Ghaflah adalah lalai, cuek, tidak peduli terhadap kesalahan yang dilakukan. Yang seperti ini memerlukan seseorang yang bisa mengingatkannya. Pada kondisi ini, keberadaan teman, saudara, orang terdekat maupun masyarakat sangat penting dan diperlukan.

Kesalahan Politik Uang di Masa Pilkada

Berkenaan dengan kesalahan, yang sulit adalah ketika seseorang menyadari melakukan kesalahan, tetapi tetap saja melakukannya dengan alasannya kondisi yang memaksanya. Hal ini sering terjadi dalam realitas kehidupan. Contohnya praktik politik uang yang masih/sering terjadi di negara kita.

Di musim pilkada seperti sekarang ini, diskursus publik tentang politik uang, serangan fajar, bagi-bagi sembako atau apapun praktik-praktik politik uang lainnya, pasti akan mencuat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik ini masih menjamur di musim pilkada, terutama di daerah-daerah.

Praktek politik uang ini mirip dengan "perlombaan senjata" yang terjadi saat ini. Prof. Mujiburrahman (Rektor UIN Antasari Banjarmasin) dalam salah satu artikelnya mengatakan bahwa salah satu kekonyolan dalam kehidupan saat ini adalah perlombaan senjata. [1]

Apa itu perlombaan senjata? Sebenarnya istilah ini diungkapkan oleh Rolf Dobelli dalam bukunya yang berjudul The Art of the Good Life. "Demi rasa aman, satu negara terpaksa membeli senjata karena negara lain juga membelinya ", tulis Prof Mujiburrahman menafsirkan arti perlombaan senjata.

Beginilah faktanya, perlombaan senjata terjadi juga di sistem politik negara kita dalam bentuk politik uang. Para politikus terus menerus melakukan politik uang karena merasa orang lain juga melakukannya. Mengulang-ulang kesalahan yang sebenarnya dia tahu bahwa itu sesuatu yang salah. Kalau sudah seperti ini, sulit untuk diluruskan. 

Apakah semua politikus berpikiran seperti ini? Apakah semua politikus berlomba "membeli senjata" dengan menghalalkan segala cara? Silahkan Anda pikirkan, Anda yang bisa menjawabnya.

Beginilah politik. Penuh dengan intrik dan tipu daya. Wajar jika Ustad Badiuzzaman Said Nursi berkata, "Aku berlindung dari godaan setan dan politik." Hal ini beliau ungkapkan setelah sempat masuk ke dunia politik di masa mudanya. 

Politik terkadang menyamarkan mana yang benar, mana yang salah, mana teman, mana lawan.  Karena politik kesalahan bisa dianggap kebenaran, atau sebaliknya.

Bukan hanya di bidang politik, di bidang lain juga masih terdapat kesalahan-kesalahan yang terkadang dibenarkan sehingga orang mengulang-ulang melakukannya. Esensinya, beginilah manusia yang terkadang mengulang kesalahan. Baik disengaja maupun tidak disengaja, baik dirasakan maupun tidak dirasakan, baik karena dia menganggapnya benar atau tidak benar.

Sebuah Refleksi

Lalu bagaimana kita seharusnya berpikir berkenaan dengan hal ini? Saya teringat dengan sebuah cerita menarik berkenaan dengan hal ini. Kisah tentang seseorang yang ingin bertobat setelah melakukan kesalahan yang berulang-ulang. 

Alkisah ada seorang pria yang telah membunuh 99 orang. Pria ini ingin bertobat. Atas saran seorang alim (orang berilmu) Ia datang kepada satu orang pintar. Orang itu berkata kepadanya, "Tidak ada pintu tobat untukmu, kesalahanmu terlalu banyak." 

Apa yang terjadi kemudian? Pria itu justru lalu membunuh orang itu juga, genaplah menjadi 100 orang yang telah ia bunuh.

Lalu orang alim yang sama berkata lagi kepada pria ini, " Siapa yang sanggup menghalangimu untuk bertaubat? Pergilah dari kota ini dan bergegaslah menuju kota yang itu (sambil menunjukkan kota tujuan), karena di sana ada kaum yang taat beribadah kepada Tuhan. Beribadah lah bersama mereka, jangan kembali lagi ke negerimu. Sebab, negerimu itu telah menjadi negeri yang buruk."

Bergegaslah pria itu ke tempat yang disarankan orang alim itu. Sayangnya ditengah perjalanan, ajal menjemput pria itu. Malaikat rahmat dan azab pun berdebat memperebutkannya. Apakah pria ini perlu mendapat rahmat karena meninggal ketika menuju kepada tobat atau pria ini perlu mendapat azab karena belum sempat bertobat dan belum ada kebaikan yang dilakukannya.

Akhirnya, untuk menengahi, datanglah malaikat yang lain. Malaikat itu berkata, "Ukurlah tempat dimana dia meninggal, lebih dekat ke mana, tempat sebelumnya atau tempat yang ia tuju? Sekiranya di mana ia lebih dekat, disitulah tempatnya."

Setelah diukur ternyata pria tersebut berada pada posisi lebih dekat ke arah tujuannya. Maka malaikat rahmat pun kemudian menemani jiwanya.

Alhasil, kisah ini mengajarkan kita bagaimana seharusnya kita bersikap agar tidak mengulangi kesalahan yang kita perbuat. 

Caranya adalah dengan berhijrah, mengganti suasana dalam kehidupan. Suasana baru, tempat baru, teman baru terkadang akan membuat kita terhindar dari melakukan kesalahan yang sama. Rasanya para politikus kita juga seharusnya berhijrah. Berhijrah dengan merubah paradigmanya tentang politik uang. Jangan sampai kesalahan yang lalu terulang lagi. 

 [Baca juga: Menaikkan Kelas Intelektualitas Masyarakat]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun