Lalu orang alim yang sama berkata lagi kepada pria ini, " Siapa yang sanggup menghalangimu untuk bertaubat? Pergilah dari kota ini dan bergegaslah menuju kota yang itu (sambil menunjukkan kota tujuan), karena di sana ada kaum yang taat beribadah kepada Tuhan. Beribadah lah bersama mereka, jangan kembali lagi ke negerimu. Sebab, negerimu itu telah menjadi negeri yang buruk."
Bergegaslah pria itu ke tempat yang disarankan orang alim itu. Sayangnya ditengah perjalanan, ajal menjemput pria itu. Malaikat rahmat dan azab pun berdebat memperebutkannya. Apakah pria ini perlu mendapat rahmat karena meninggal ketika menuju kepada tobat atau pria ini perlu mendapat azab karena belum sempat bertobat dan belum ada kebaikan yang dilakukannya.
Akhirnya, untuk menengahi, datanglah malaikat yang lain. Malaikat itu berkata, "Ukurlah tempat dimana dia meninggal, lebih dekat ke mana, tempat sebelumnya atau tempat yang ia tuju? Sekiranya di mana ia lebih dekat, disitulah tempatnya."
Setelah diukur ternyata pria tersebut berada pada posisi lebih dekat ke arah tujuannya. Maka malaikat rahmat pun kemudian menemani jiwanya.
Alhasil, kisah ini mengajarkan kita bagaimana seharusnya kita bersikap agar tidak mengulangi kesalahan yang kita perbuat.Â
Caranya adalah dengan berhijrah, mengganti suasana dalam kehidupan. Suasana baru, tempat baru, teman baru terkadang akan membuat kita terhindar dari melakukan kesalahan yang sama. Rasanya para politikus kita juga seharusnya berhijrah. Berhijrah dengan merubah paradigmanya tentang politik uang. Jangan sampai kesalahan yang lalu terulang lagi.Â
 [Baca juga: Menaikkan Kelas Intelektualitas Masyarakat]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H