Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Benang Tipis Pemikiran Overthinking dan Critical Thinking di Masa Pandemi

7 September 2020   15:37 Diperbarui: 7 September 2020   21:09 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kecemasan kian meningkat menyusul penyebaran virus corona yang semakin luas.(AFP/SPENCER PLATT via kompas.com, Gambar sudah diolah)

Corona...oh corona. Di awal bulan September ini angka positif corona di Indonesia sudah mencapai angka diatas 3.000 kasus perharinya. 

Kamis (3/9/2020) angka positif memecahkan rekor harian. Sebanyak 3622 rakyat terpapar corona. Sungguh hal yang sangat menyedihkan. Rasanya banyak masyarakat yang sudah mulai frustasi dengan keadaan ini. Wajar saja 6 bulan sudah masyarakat berusaha melawan virus ini.

Di sisi lain, rasa takut yang menghantui masyarakat justru mulai menurun. Masyarakat sudah mulai berani untuk melakukan kegiatan secara normal, walaupun dibungkus dengan protokol kesehatan yang entah dilakukan dengan benar atau tidak.

Overthinking

"Jangan terlalu overthinking dengan corona ini", mungkin pesan ini yang ingin disampaikan masyarakat. Ya, overthinking memang bahaya. Bahayanya laten dan bisa menjadi penyakit kronis.

Orang yang overthinking akan selalu berputar kepada ketakutan dan kekhawatiran akan sesuatu buruk yang akan menimpanya. Overthinking akan menyebabkan seseorang justru tidak melakukan apa-apa, karena terlalu banyak memikirkannya. Inilah indikator terjelas overthinking, no action, overthink only.

Ini terjadi karena seseorang terlalu banyak berandai dan memikirkan prediksi masa depan secara berlebihan. Ini terus terjadi dalam pikirannya terus berputar menjadi sebuah siklus kecemasan dalam pikirannya.

Overthinking ini juga bisa membahayakan kesehatan, baik kesehatan tubuh maupun kesehatan jiwa.

Dalam ilmu psikologi kesehatan tubuh yang dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis disebut dengan psikosomatis. Psikosomatis adalah gangguan tubuh yang disebabkan oleh pikiran/faktor kejiwaan. Ketika diperiksakan, sebenarnya tidak ada gangguan apa-apa pada fisik atau tubuhnya.

Gangguan kesehatan jiwa sudah jelas pastinya, karena overthinking sendiri berhubungan dengan kejiwaan. Frustasi, stres, kecemasan dan depresi adalah diantara gangguan jiwa yang bisa terjadi pada seseorang yang overthinking. 

Bukan hanya masyarakat di negara kita, masyarakat di negara maju seperti Jerman pun mengalami hal yang sama.

Baru-baru ini terjadi demonstrasi anti corona yang dilakukan para simpatisan sayap kanan ekstrim di Jerman. Ini menunjukkan masyarakat Jerman sudah sangat frustasi dengan restriksi yang dilakukan pemerintahnya.[1]

Kalau mau saya tafsirkan, sebenarnya masyarakat Jerman berpikir bahwa pemerintahnya sudah sangat overthinking berkenaan dengan corona ini. Mungkin ini juga salah satu interpretasi kefrustasian mereka.

Mereka percaya akan adanya virus corona, tetapi mereka tidak percaya bahwa situasi saat ini adalah pandemi. Mereka turun ke jalan untuk membela kebebasan fundamental mereka yang direnggut selama adanya lockdown pandemi.

Melawan Overthinking dengan Critical Thinking

Belajar dari peristiwa yang terjadi di Jerman, kita sadar banyak masyarakat yang belum memahami apa itu perbedaan antara overthinking dengan critical thinking.

Menurut filsuf pendidikan John Dewey, critical thinking (dinamakan olehnya reflective thinking) adalah berpikir dengan pertimbangan yang aktif, persisten, dan cermat atas keyakinan atau bentuk pengetahuan apa pun yang dianggap sebagai dasar yang mendukungnya, dan kesimpulan lebih lanjut yang cenderung dituju. 

[Baca juga: Critical Thinking, untuk Guru atau Siswa?]

Jika dalam penelitian, berpikir kritis adalah menganalisis fakta-fakta yang ada untuk sampai kepada sebuah keputusan. Intinya kita dituntut berpikir secara lebih hati-hati dan konstruktif dengan mengarah kepada sebuah tujuan (careful goal-directed thinking). [2]

Dalam konteks pandemi ini, critical thinking sangat diperlukan dalam mendasari pemikiran kita. Tujuan kita adalah untuk tidak tertular corona. 

Dengan critical thinking kita bisa meminimalisir overthinking yang mungkin timbul dengan cara membuat interpretasi yang berbeda akan situasi yang ada. 

Cara inilah yang dimaksud restrukturisasi kognitif (cognitive restructuring) yang disebutkan Thomas Oppong dalam artikelnya yang berjudul Psychologist explain how to stop overthinking everything. [3]

Bagaimana kita memahami restrukturisasi kognitif dalam critical thinking? Saya akan menjelaskannya dengan sebuah contoh. Bayangkan di masa pandemi ini, ada seorang teman yang mengajak anda jalan-jalan ke suatu tempat yang sepi dari orang untuk sekadar untuk refreshing diri menghilangkan jenuh di masa pandemi.

Teman tersebut mencoba meyakinkan Anda bahwa tempat itu sepi, tidak ada orang yang datang ke sana. Jadi akan aman dari bahaya corona.

Jika Anda menolaknya, apakah Anda termasuk orang yang overthinking atau anda orang yang berpikir kritis (critical thinking)?

Bagi saya jawabannya akan menjadi sangat relatif. Jika Anda menolaknya dengan alasan hanya berdasarkan argumen bahwa pandemi ini hanya menimpa fisik Anda, bisa jadi Anda overthinking. Karena tidak ada alasan menolak ajakan teman Anda tersebut.

Tetapi jika Anda merestrukturisasi kognitif/pemahaman Anda bahwa pandemi juga berhubungan dengan psikologis Anda, maka sebenarnya Anda sudah berpikir kritis (critical thinking). 

Sejatinya bepergian di masa pandemi, walaupun terlihat aman secara fisik tetapi bisa mengganggu psikis kita yang akan membuat kita berpikir bahwa bepergian keluar rumah aman. Sekali kita pergi, kita akan ketagihan. Yang terjadi adalah malah kita akan semakin mengendorkan kewaspadaan kita. Ini yang berbahaya.

Alhasil, tidak ada yang menolak bahwa corona memang benar-benar ada. Saya sangat setuju dengan perkataan kanselir Jerman Angela Merkel menanggapi aksi demonstrasi rakyatnya, katanya, "Kita harus hidup dengan virus ini untuk waktu yang lama. Ini masih serius. Silakan terus menanganinya dengan serius." Tentang kesehatan, kita tidak bisa bermain-main dengannya, perlu keseriusan. 

Perbedaan antara overthinking dan critical thinking memang sangat sulit dipahami pada kondisi saat ini. Keduanya seakan dipisahkan oleh sebuah benang tipis pemikiran. Bagaimana kita berpikir itulah yang akan membedakan. 

[Baca juga: Rocky Lupa Grammar Mengkritik]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun