Hari ini tanggal 10 Agustus 2020 tepat satu minggu sebelum peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75. Suasana kemerdekaan sudah ada di mana-mana sejak awal bulan Agustus. Bendera berkibar di sepanjang jalan. Spanduk kemerdekaan di pasang. Gapura di gang-gang mulai dihias.
Hari ini saya mendapat tugas untuk menjadi pembina upacara rutin setiap hari senin di sekolah kami. Tahun pelajaran ini karena pembelajaran dilakukan secara daring, upacara pun dilakukan secara virtual, tanpa adanya pengibaran bendera.
Walaupun tanpa pengibaran bendera, upacara virtual tetap kami lakukan. Toh menurut saya, tujuan utama upacara adalah menanamkan jiwa-jiwa nasionalisme, bukan sekedar ritual penaikan sang merah putih saja.
Sebelum sang merah putih bisa dikibarkan di bumi pertiwi, sebelum kita merdeka, sebelum negara ini terbentuk, nasionalisme sudah tumbuh dahulu di sanubari rakyat. Nasionalisme yang dipegang teguh oleh para pahlawan kemerdekaan. Rasa nasionalisme inilah yang akhirnya membawa kemerdekaan negara kita.
Chauvinisme Sebagai Bentuk Nasionalisme Negatif
Secara definisi, dalam KBBI nasionalisme diartikan sebagai rasa cinta kepada bangsa dan negara sendiri. Definisi keduanya adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yg secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.
Kita harus bisa memahami dua definisi diatas secara bijak. Kita harus bisa memahami secara positif. Jangan sampai kita terjebak pada pemahaman sempit yang akhirnya justru membawa kepada paham chauvinisme.
Paham chauvinisme sendiri diambil dari nama seorang prajurit Nicolas Chauvin yang begitu fanatik terhadap pemimpinnya Napoleon Bonaparte. Begitu setianya Chauvin kepada Napoleon menyebabkan dirinya lupa kepada yang lain. Dia tidak menganggap yang lain bahkan justru merendahkan dan meremehkannya.
Jika kita perhatikan, paham chauvinisme mengarahkan kita pada nasionalisme negatif. Mengapa? Karena ada nilai-nilai negatif dari chauvinisme yang perlu kita hindari. Diantaranya adalah mengagungkan bangsa sendiri, merendahkan bangsa lain, kesetiaan ekstrim sehingga tidak memperhatikan alternatif yang lain.
Dalam sejarah dunia banyak contoh chauvinisme yang pernah eksis. Sebut saja nazi di Jerman, fasisme di Italia dan juga begitu juga paham chauvinisme yang dianut negeri sakura Jepang.Â
Yang terakhir ini, yang membuat negara kita ikut merasakan dampaknya. Dalam sejarah tercatat, bagaimana Jepang menerapkan paham chauvinismenya di negara kita. Bahkan ada yang mengatakan bahwa penjajahan yang dilakukan Jepang walaupun dalam waktu yang sangat singkat bersifat lebih kejam daripada penjajahan Belanda yang berlangsung sekitar tiga setengah abad lamanya. Mungkin chauvinisme itulah sebabnya.
Gotong Royong Sebagai Nasionalisme PositifÂ
Nah, lalu bagaimana kita bisa memahami nasionalisme secara positif? Nasionalisme positif adalah nasionalisme yang disandarkan pada rasa saling tolong-menolong, bantu-membantu dan bahu-membahu dalam kebersamaan sebuah negara. Intinya adalah gotong royong dalam bernegara.
Gotong royong adalah sebuah istilah yang murni berakar dari budaya kita. Baru-baru ini istilah gotong royong ramai dibicarakan setelah muncul Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).Â
Pada RUU HIP, gotong royong disebut sebagai ekasila yang merupakan hasil kristalisasi ciri pokok pancasila. Ciri pokok pancasila yang berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
Jadi, gotong royong, nasionalisme dan pancasila menjadi satu kesatuan. Inilah nasionalisme yang perlu kita kedepankan. Jika mau dianalogikan, nilai-nilai nasionalisme positif ini ibarat uang yang ada di dalam brankas. Brankas itulah chauvinisme, isinya adalah nasionalisme. Mana yang lebih berharga, uang atau brankasnya?Â
Globalisasi Gotong Royong di Masa Pandemi
Pandemi yang menghantam dunia mau tak mau banyak merubah tatanan dunia. Globalisasi yang berjalan dengan baik selama ini harus terdampak. Deglobalisasi mulai terasa dimana-mana.
Masyarakat dunia mulai berpikir keadaan negaranya sendiri. Banyak yang mulai menurunkan ekspor barang dan komoditi. Alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Bayangan resesi ekonomi membuat pemerintah beberapa negara merubah kebijakan ekonominya. Menyelamatkan rakyatnya sendiri lebih diutamakan. Jika ini terus berlanjut, ancaman deglobalisasi menjadi sebuah keniscayaan.Â
Inilah saatnya kita sebagai bangsa berkesempatan untuk mengedepankan nilai-nilai yang murni berakar dari budaya kita. Inilah saatnya kita menglobalkan nilai gotong royong.
Tak ada jalan lain, pandemi ini bisa diatasi hanya dengan adanya sikap saling tolong-menolong, bantu-membantu dan bahu-membahu antar negara di dunia.
Negara-negara yang sudah keluar dari masa krisis harus bisa membantu negara-negara yang masih harus berjuang. Vietnam dan Selandia Baru adalah dua negara tetangga kita yang patut dicontoh dalam keberhasilan penanganan pandemi. Yang perlu dilakukan adalah pendekatan diplomasi pemerintah kita kepada negara-negara tersebut dengan prinsip gotong royong yang kita kedepankan.Â
Alhasil, di HUTnya yang ke-75, negara kita seharusnya mampu menjadi panutan dunia. Nilai-nilai nasionalisme yang terkristalisasi dalam gotong royong harus bisa dikedepankan. Globalisasi gotong royong menjadi sebuah hal yang patut menjadi agenda diplomasi kita di dunia. Jayalah terus Indonesiaku....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H