Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pilih New Normal atau AKB? Atau Tidak Keduanya?

6 Agustus 2020   20:17 Diperbarui: 6 Agustus 2020   20:14 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(humas pemprov Jabar) via kompas.com

Setelah istilah social distancing diubah menjadi physical distancing, sekarang diperbincangkan mengenai istilah new normal yang diubah menjadi adaptasi kebiasaan baru (AKB).

Inilah serba-serbi istilah di masa pandemi covid-19 ini. Sebenarnya masih banyak istilah-istilah baru berkenaan dengan covid-19 yang membuat masyarakat semakin bingung.

Katanya istilah new normal banyak tidak dipahami atau malah disalah pahami masyarakat. Istilah yang menggunakan Bahasa Inggris ini memang populer di dunia sekarang, sejalan dengan mulai frustasinya masyarakat karena menunggu pandemi yang tak kunjung usai. Bukan karena bahasa Inggrisnya, tetapi karena dampaknya pada kehidupan. Itu yang membuat istilah ini begitu penting.

Memahami New Normal

Di dunia barat sana, kehadiran new normal dirayakan masyarakat. Masyarakat sudah jenuh berdiam di rumah. Masyarakat perlu pencerahan. Masyarakat ingin kembali hidup normal, walaupun hanya sekedar new normal. Diskursus tentang new normal merambah ke semua sendi kehidupan. Bahkan kebijakan politik dan pemerintahan pun sangat ditentukan dengan sudut pandang new normal.

Sebenarnya apa sih new normal? New normal atau kenormalan baru adalah membuka kembali semua sendi kegiatan masyarakat dengan tetap mengacu kepada protokol kesehatan.

Karena ini hal yang baru, masyarakat sulit melaksanakannya, karena belum terbiasa.

Belum usai kita memahaminya, sekarang kita sibuk mencari kata baru untuk menggantikannya. Alasannya karena kata itu dirasa tidak sesuai. Orang lebih condong kepada normalnya bukan newnya itu alasannya. Padahal mau diganti istilah atau tidak, jika mindset masyarakat tetap sama, tidak akan ada perubahan yang signifikan.

Selain itu, ada juga yang mengatakan bahwa kata new normal itu bertolak belakang dengan semangat melawan pandemi. Sebabnya, kata new normal ini dulu lebih sering digunakan sebagai cara menghadapi penurunan ekonomi karena krisis yang terjadi.

New normal digunakan sebagai cara untuk mengambil kesempatan sebesar-besarnya di kala terjadi krisis. Intinya istilah new normal lebih bermakna ekonomis, bahkan cenderung materialistis.

Maka dari itu pemerintah mengumumkan untuk menggunakan istilah Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) untuk menggantikan istilah new normal. Memang, jika kita cermati, istilah adaptasi kebiasaan baru lebih memiliki makna yang mendalam daripada istilah new normal. Ada sebuah proses yang tersirat pada istilah itu. Proses beradaptasi menuju kebiasaan baru. Coba bandingkan dengan istilah new normal yang terkesan pragmatis. Seolah-olah masyarakat dipaksa untuk melakukannya.

Memahami Adaptasi

Sebenarnya ada istilah yang lebih tepat daripada adaptasi (adaptation). Karena kata adaptasi lebih bermakna fisiologis, biologis atau berhubungan dengan adaptasi fisik terhadap lingkungan. Menurut ahli psikologi istilah yang lebih tepat adalah penyesuaian diri (adjustment).

Ahli Psikologi Schneiders melihat penyesuaian diri dari tiga sudut pandang. Ketiga sudut pandang tersebut adalah adaptasi (adaptation), konformitas (conformity) dan penguasaan (mastery).

Adaptasi berarti penyesuaian diri secara fisik terhadap lingkungan. Konformitas berarti penyesuaian diri terhadap norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Sedangkan, penguasaan berarti penyesuaian untuk mengembangkan diri, mampu menghadapi konflik, kesulitan, stress dan frustasi. Jika kita gabungkan ketiganya maka kita akan mendapatkan gambaran utuh tentang penyesuaian diri yang mencakup adaptasi di dalamnya.

Ya, di bahasa kita adaptasi memang diartikan lebih luas. Adaptasi dipadankan dengan adaptasi diri, adaptasi lingkungan dan adaptasi sosial. Jadi jika digabungkan maka akan mencakup semua sudut pandang yang disampaikan oleh Schneiders diatas.

Istilah apapun bisa digunakan, yang lebih penting adalah adalah bagaimana menjalankannya. Ada yang bilang new normal atau adaptasi kebiasaan baru adalah bukan sesuatu yang normal, maka tidak layak dilaksanakan. 

Seharusnya memang kita tidak bisa melihatnya dari sisi kenormalan, karena pada intinya kita dalam keadaan yang serba tidak normal. Beda ceritanya jika kita menganggap penyebaran covid-19 adalah sesuatu yang normal.

Saat ini kondisi penyebaran covid-19 di negara kita masih terus meningkat. Presiden Jokowi baru saja mengeluarkan Inpres nomor 6 tahun 2020 tentang peningkatan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian covid-19. 

Inpres ini seolah menegaskan bahwa kita sebenarnya masih harus berjuang melawan covid-19. Belum waktunya kita melonggarkan kewaspadaan. Jangan sampai adaptasi kebiasaan baru membuat kita terlena. 

Memperhatikan hal tersebut, jika saya harus disuruh memilih antara new normal dan AKB, saya cenderung untuk tidak memilih keduanya. Menurut saya, kita harus lebih bersabar sampai kita yakin benar-benar covid-19 sudah bisa kita kendalikan.

Alhasil, adaptasi juga penting kita lakukan, saat ini maupun pada saat waktunya nanti ketika kita menerapkan kebiasaan baru dengan lebih aman. Kita harus cerdas memahami kondisi yang terjadi saat ini. Seperti yang dikatakan ilmuwan fisika teoritis Stephen Hawking, "Kecerdasan adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan". Sekarang pilihan ada di tangan kita masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun