Baru-baru ini viral di media sosial mengenai postingan kue klepon tidak islami yang diunggah salah satu akun yang belum terkuak siapa pemilik aslinya. Sudah pastinya akun dengan nama samaran karena pemilik akun paham postingannya akan menuai polemik.
Entah apa motif pengunggah, agama, budaya, ekonomi atau ini hanya sebagai pengalihan isu saja di tengah isu-isu hangat politik yang sebenarnya lebih menarik untuk dibahas. Inilah yang biasa terjadi.Â
Kira-kira begini bunyi postingannya, "KUE KLEPON TAK ISLAMI. Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami ".
Sontak saja netizen bereaksi. Kebanyakan netizen kontra dengan postingan tersebut dengan berbagai macam argumen, walaupun ada juga yang pro.
Diantaranya ada yang mengatakan bahwa postingan ini membenturkan agama dan budaya. Ada juga yang berpikir lebih ideologis yang mengatakan bahwa postingan ini adalah propaganda wahabi atau salafi garis keras. Ada yang lebih berpikir santai yang mengatakan bahwa klepon itu halal kenapa dikatakan tidak islami.
Konsep Framing
Terlepas diskursus yang terjadi di masyarakat, kasus ini seolah mengingatkan masyarakat mengenai konsep framing dalam ilmu komunikasi. Banyak para ahli komunikasi yang menggunakan analisis framing untuk menjelaskan beberapa fenomena yang mirip dengan ini.
Konsep framing itu sendiri menitikberatkan pada isi dan dampak yang bisa terjadi dari sebuah pesan yang disampaikan. Dalam konteks ini pesannya adalah postingan yang diunggah.
Berdasarkan analisis framing yang dilakukan kita bisa sangat mudah sekali memahami pesan yang ingin disampaikan dari postingan ini.
Dari diksi yang digunakan pun sangat mudah ditebak arah dari pesan yang ingin disampaikan. Diksi islami, kurma, syariah dan penggunaan nama akun samaran yang kearab-araban lebih menegaskan lagi framing yang ingin dicapai.
Framing Ekonomi Usaha Kecil dan Menengah
Saya ingin menganalisis framing postingan ini dari sisi yang lain. Saya mencoba melihatnya dari sisi ekonomi, dengan digunakannya diksi "membeli" dan adanya ajakan untuk bertransaksi di postingan tersebut.
Tak bisa dipungkiri resesi ekonomi sangat berdampak di masyarakat. Angka kemiskinan meningkat. Rakyat semakin sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Banyak yang harus diberhentikan dari pekerjaannya. Daya beli menurun, perputaran uang terhambat.
Usaha kecil dan menengah banyak yang terdampak kondisi ini. Ada yang harus gulung tikar karena tidak mempunyai kemampuan menggunakan e-commerce sebagai moda perdagangan yang mungkin dilakukan di era pandemi. Yang mampu pun belum tentu bisa bersaing dengan pedagang e-commerce yang sudah besar.
Persaingan pasar sangat kental pada dunia e-commerce. Seperti kita ketahui, di e-commerce harga tidak bisa dijadikan strategi karena tidak adanya transaksi tawar-menawar. Selain itu harga pasaran e-commerce juga relatif lebih rendah dari harga normal, yang terkadang membuat pedagang kecil harus merugi karena harga produksi lebih besar dari harga jual.
Dengan kondisi ekonomi seperti ini wajar saja para pedagang menggunakan berbagai cara untuk menggiring masyarakat untuk berbelanja.
Jika dilihat dari framing motif ekonomi ini maka postingan tersebut patut diapresiasi. Mengapa? Karena postingan tersebut akan mampu menggeliatkan ekonomi usaha kecil dan menengah.
Tetapi pemilihan diksi yang berbau propaganda agama dan budaya, itu yang perlu dikritisi. Dengan melakukan itu sebenarnya kemudaratannya akan lebih banyak daripada kebaikannya.
Sebenarnya banyak framing lain yang lebih positif dan membangun yang bisa digunakan. Agama dan budaya tidak perlu dibenturkan. Justru agama dan budaya harus digunakan seluas-luasnya dan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Bagaimana caranya? Untuk menjawab ini, harus kembali kepada diri kita sendiri. Banyak cara yang bisa dilakukan. Harus ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat.Â
Semua dari kita harus berpikir bersama. Dengan kebersamaan akan terbentuk sense of crisis yang sama di masyarakat. Ini kuncinya.
Alhasil, dampak ekonomi di era pandemi membuat masyarakat mencari jalan keluar untuk bisa bertahan. Konsep framing perlu dilakukan untuk bisa membuat roda ekonomi berjalan. Tetapi framing yang baik pastinya bukan yang berisi propaganda yang justru akan semakin memperkeruh suasana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H