Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Jangan Tunggu "Pandemi Emisi BBM" Terjadi

20 Juni 2020   08:55 Diperbarui: 21 Juni 2020   07:50 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekerja membersihkan papan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tempat pengisian BBM Pertamina, Bogor, Jawa Barat, Senin (2/7/2018).(ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)

Sebelum pandemi ini muncul, tema lingkungan menjadi isu yang banyak dibahas di beberapa forum tingkat dunia. Negara di berbagai belahan dunia mulai mengedepankan isu lingkungan pada diskursus publik di negaranya masing-masing.

Indonesia sendiri sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia diharapkan peran aktifnya dalam mencermati isu lingkungan ini. Isu polusi, kebakaran hutan, perubahan iklim dan berbagai macam isu penting lingkungan lainnya seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah kita.

Baru-baru ini muncul isu tentang penghapusan bahan bakar minyak (BBM) yang kandungan Research Octane Number (RON) dibawah 91. 

Isu ini mengarah kepada penghapusan premium dan pertalite, dua BBM yang paling banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Isu ini telah dibantah oleh Pertamina, sebagai perusahaan plat merah yang berwenang menangani hal ini.

Sudah pasti diskursus publik tentang dampak ekonomi, sosial dan politik menjadi perhatian serius pemerintah. Pemerintah harus sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Penolakan masyarakat bahkan demo besar bisa saja terjadi.

Saya sendiri sangat setuju sekali dengan isu penghapusan BBM berbahaya itu. Mengapa? Menurut saya kualitas lingkungan perlu kita utamakan, demi kesehatan. Kesehatan harus jadi prioritas utama.

Masyarakat seharusnya belajar dari pandemi yang sedang kita hadapi sekarang. Isu kesehatan begitu penting kita rasakan sekarang. Isu kesehatan bisa meluluh lantahkan semua sendi kehidupan. 

sumber:
sumber:
Resesi ekonomi tidak bisa dielakkan, belum lagi problematika perubahan sosial kemasyarakatan di era kekinian baru. Politik pun terkena imbasnya, Pilkada serentak dan beberapa isu hangat pembahasan rancangan undang-undang (RUU) di DPR harus terhambat di masa pandemi ini.

Pada masa pandemi ini, masyarakat dipaksa untuk memperhatikan isu kesehatan. Masyarakat dipaksa belajar bagaimana mengikuti protokoler kesehatan. Cuci tangan, menggunakan masker, menjaga kebugaran menjadi sebuah trend kekinian. 

Kita bisa cermati bagaimana semua elemen masyarakat sepakat dengan era kekinian baru di masa pandemi ini. Walaupun pada realitanya, masih banyak masyarakat yang belum mematuhinya, tetapi tidak ada satupun elemen masyarakat yang menolaknya.

Isu kesehatan bisa sangat sakti sekali di masa pandemi ini. Lalu mengapa isu kesehatan juga tidak bisa diterapkan pada isu penghapusan BBM? Mungkin harus terjadi "pandemi emisi BBM" dulu, baru masyarakat memahami.

Padahal sejatinya, emisi asap yang dikeluarkan dari BBM beroktan rendah sangat membahayakan manusia. Asap hidrokarbon yang dikeluarkan bisa menyebabkan kanker paru-paru dan berbagai gangguan pernafasan lainnya. 

Emisi karbon dioksida sudah sangat jelas efeknya. Belum lagi efek emisi gas-gas berbahaya dan beracun lainnya.

Sumber: otomotif.kompas.com
Sumber: otomotif.kompas.com

Bagi perusahaan pemerintah yang menangani masalah ini, sebenarnya penghapusan BBM beroktan rendah bisa mengurangi biaya produksi dan distribusi BBM. Semakin sedikit jenis BBM, maka biaya produksi akan bisa semakin ditekan. Pada akhirnya harga BBM jenis yang lain pun akan bisa diturunkan.

Selain itu dampak BBM beroktan rendah bagi kendaraan juga sangat signifikan. Performa pembakaran bahan bakar di dalam mesin yang tidak sempurna membuat mesin kendaraan mengalami knocking (mengelitik). Belum lagi sparepart mesin yang akan cepat rusak dan pemborosan BBM yang digunakan.

Satu-satunya alasan belum terealisasinya penghapusan BBM beroktan rendah adalah reaksi penolakan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, masyarakat lebih memilih BBM beroktan rendah karena harganya lebih murah. Mindset di masyarakat adalah jika masih ada yang murah, mengapa harus beli yang mahal.

Pemerintah harus fokus merubah mindset masyarakat ini. Masyarakat harus diberikan pemahaman akan pentingnya kualitas. Penggunaan BBM berstandar Euro 4 yang memiliki kandungan RON diatas 91 menjadi sebuah keharusan, demi kualitas lingkungan yang lebih baik. 

Kualitas lingkungan yang lebih baik akan membawa kualitas kehidupan yang lebih baik. Kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat, jika kualitas kehidupannya baik. 

Hal Ini akan menjawab penolakan masyarakat akan penghapusan BBM beroktan rendah. Bukankah kebanyakan masyarakat menolaknya karena alasan ekonomi? 

Bukankah tujuan ekonomi adalah kesejahteraan masyarakat? Bila dilihat dari sisi ini, penghapusan BBM beroktan rendah akan menjadi kebijakan ekonomi yang benar-benar tepat, dalam rangka mencapai tujuan akhir ekonomi itu sendiri.

Sekarang yang dibutuhkan adalah keberanian pemerintah untuk mengambil keputusan. Saat ini, pemerintah berani mengambil keputusan kenormalan baru di masa pandemi dengan mengacu pada prioritas kesehatan. 

Seharusnya pemerintah juga berani mengambil keputusan untuk menghapus BBM beroktan rendah dengan mengacu pada prioritas yang sama. Kapan? Mungkin setelah pandemi ini berakhir.

Alhasil, dampak emisi BBM bagi lingkungan dan kesehatan adalah sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa lari darinya, seperti kita tidak bisa lari dari penyebaran covid 19 saat ini. 

Pemerintah harus bergerak cepat dan tepat menangani isu lingkungan ini, jangan sampai terlambat. Jangan tunggu sampai "pandemi emisi BBM" benar-benar terjadi nantinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun