Ada sebuah tradisi Indonesia yang dilakukan setelah Hari Raya. Tradisi ini bernuansa islami yang lahir dari kultur bangsa Indonesia. Tradisi yang terus dilakukan orang Indonesia meskipun di perantauan, tradisi itu bernama "Halal Bihalal".
Sebuah kegiatan yang dilaksanakan secara bersama-sama selepas bulan puasa dalam suasana Idul Fitri, sebagai sarana silaturrahim dan bermaaf-maafan antar sesama.
Ternyata tradisi silaturrahim ini bermula, diniatkan untuk menyatukan bangsa Indonesia dari perpecahan. Digagas oleh Sang Proklamator, Bung Karno bersama KH. Hasbullah Wahab, salah satu ulama cerdas dan berpandangan modern kala itu.
Pada masa awal kemerdekaan, Bangsa Indonesia mengalami tekanan dari penjajah Belanda, yang ingin menguasai kembali tanah koloninya. Disamping itu, Indonesia dilanda pemberontakan dari dalam untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada tahun 1948, pemberontakan yang memaksakan ideologi seperti Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosuwiryo, meletus di Jawa Barat. Kemudian di Madiun, Jawa Timur, pemberontakan PKI dipimpin oleh Muso juga terjadi.
Suasana bangsa Indonesia berada diambang perpecahan (disintegrasi bangsa). Apalagi antar elit politik kala itu, banyak terjadi gesekan dan tidak sepemahaman. Melihat situasi dan kondisi seperti ini, membuat Presiden Sukarno kwatir dan risau.
Maka pada pertengahan Ramadan 1948 (1367 H), Bung Karno memanggil KH Wahab Hasbullah ke Istana Negara, untuk meminta pendapat dan nasehatnya, agar situasi politik Indonesia yang tidak sehat segera teratasi.
KH. Wahab Hasbullah menyarankan agar diadakan silaturrahim nasional, karena sebentar lagi hari raya Idul Fitri akan tiba. Orang Islam disunnahkan bersilaturrahim dan bermaaf-maafan.
Namun Presiden Sukarno kurang setuju menggunakan istilah "Silaturrahim Nasional." karena istilah itu terkesan biasa digunakan dan kurang menarik perhatian.
Kemudian KH. Wahab Hasbullah menyarankan agar menggunakan istilah "Halal Bihalal". Alasannya, karena para elit politik tidak mau bersatu, dan mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa, dan dosa itu haram.
Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan dan saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah "Halal Bihalal"
Akhirnya Presiden Sukarno setuju, dan mengundang semua tokoh politik ke Istana Negara, pada Idul Fitri itu juga. Mereka semua duduk semeja sambil bermaaf-maafan, acara silaturrahim ini dinamakan halal bihalal. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itu, acara halal bijaklah dijadikan acara rutin tahunan, setiap Idul Fitri tiba. Bahkan terus dijadikan kebiasaan sehingga saat ini. Bukan hanya di ruang lingkup elit politik saja, namun juga dilakukan dalam setiap unsur dan lapisan masyarakat.
Namun dalam situasi wabah melanda ini, kita tunda dulu acara halal bihalal ini secara berhadapan langsung. Kita bisa berhalal bihalal secara daring, untuk mengurangi penyebaran wabah Covid-19 saat ini.
Tradisi baik harus tetap dirawat dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Agar kultur Indonesia tetap relevan, dan tidak hilang ditelan zaman.
Jika ada rumput basah di ladang, janganlah mengembala sendiri
Jika ada kue raya yang belum dihidang, silahkan kirimkan kemari
😍😍
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H