Tulisan ini ditulis pada 19 Desember 2016 dan pernah di publikasikan pada blogspot personal saya.
Semoga tulisan ini tidak dikira sebagai tanda saya sedang menggebu-gebu untuk menemukan pendamping hidup. Insya Allah, nama dalam lauh mahfudz itu akan terang pada waktunya.
Semakin hari, pembicaraan disekeliling saya tak pernah jauh dari bahasan tentang pernikahan. Entah mungkin karena kami sudah sarjana? Atau calon sarjana di penghujung tahun akhir pendidikan? Atau memang umur kami yang sudah matang untuk menikah? Ah, standar pernikahan bukan sarjana atau belum. Tua atau muda. Yah anggap saja memang sudah tiba bagi kami memasuki rentang masa suburnya prospek pernikahan.
Malam tadi, saya berbincang dengan adik-adik saya di kampus. Perbincangan hangat tentang kisah kasih mereka. Pada intinya, bahasan itu tentang latar belakang kami. Dokter. Dan pasangan ideal yang terstigma ialah sesama dokter. Memang, pasangan itu layaknya sekufu. Sepadan. Baik pribadinya, latar belakangnya, pendidikannya, pemikirannya, dan lainnya. Sehingga, bisa berjalan seiring seirama, langsung bisa sesuai menyesuaikan.
Saya teringat perbincangan saya dengan salah seorang senior saya. Ada satu fenomena nyata di kampus, entah benar atau tidak, tapi semoga saja tidak. "Kalau cewek itu banyak yang mau dengan cowok kedokteran, tapi cowok banyak yang takut dengan cewek kedokteran."
Apa ? Takut ? Kami menakutkan ya ? Jangan takut. Kami jinak kok, kalaupun sedang galak ya paling gigit. Hehehe.
Saya ingin membahasnya disini. Jika pertanyaan itu dilontarkan pada saya, "Kamu mau dapat jodoh sesama dokter?"
Maka sampai sekarang jawabannya adalah, "Tidak"
Loh ? Hehe. Tapi jawaban itu masih bisa berubah. Toh kita tak pernah tau siapa jodoh kita kan. Hari ini tidak mau, mungkin kelak Dia membalikkan hati untuk menjawab ya.
Alasan pribadi saya ialah,
"Saya ingin bisa berbagi berbagai cerita dengannya. Tentang dunia saya. Tentang dunia nya. Membuat kisah kehidupan kami menyejarah di setiap lini. Saya ingin dengan bersamanya, saya bisa melihat dunia dari sisi yang berbeda. Saya ingin bisa selalu antusias mendengarkan ia bercerita tentang dunianya, harinya, aktivitasnya. Karena pasti banyak hal yang tak familiar dengan aktivitas saya sebagai dokter.Â
Dan saya sendiri pun orang yang senang bercerita. Saya membayangkan diskusi kami bisa bermacam-macam dari berbagai sudut pandang. Intinya, saya tidak ingin kehidupan kami monoton hanya dari satu lini kehidupan. Bukankah kami ingin membangun peradaban ? Maka warna kami pun harus ada di berbagai lini."
Pada kenyataannya, banyak para dokter yang memang menikah dengan sesama dokter. Inilah mungkin yang membuat isu miris bahwa anak kedokteran itu kurang pergaulan. Apalagi kalau menikah dengan sesama dokter, satu angkatan, satu kelompok koas pula. Fix lah benar-benar tampak kurang bersosial ya. Hahaha.
Padahal jodoh siapa yang tau kan ? Tidak ada yang bisa memastikan. Kenapa harus sesama dokter ? Banyak yang menjawab, supaya bisa saling mengerti.
Sebenarnya problema ini timpang gender. Maksudnya ? Dokter itu, kalau laki-laki mereka tenang-tenang saja. Mau sesama dokter, mau non-dokter, tidak jadi masalah. Malah seakan-akan tinggal pilih saja. Karena yang non-dokter pun pasti akan mau. Nah, yang para perempuan ini, tidak usah jauh-jauh berpikir dengan non-dokter, yang sesama dokter saja belum tentu ada yang mau. Jadi yah karena tak ada pilihan selain sesama dokter, ya akhirnya kembali pada siklus dokter-dokter.
Okelah mari bahas beberapa alasan dengan lebih rinci sedikit.
1. Dunia yang sama
Kedokteran adalah dunia yang menyita waktumu. Sungguh. Kamu memang benar-benar sibuk. Sibuk adalah alasan utama kandasnya hubungan antara anak kedokteran dengan non-kedokteran. Jadi, bukannya tidak mau dengan non-dokter, tapi hubungan itu banyak yang berakhir kandas. Daripada banyak membuat PR, banyak penjelasan sana sini, lebih baik cari yang sesama dokter. Begitu kira-kira sederhananya konsep pemikiran rata-rata anak kedokteran.
Jujur, saya sendiri juga berpikir akan hal itu. Memang hanya anak kedokteran yang mengerti sebenar-benarnya aktivitas dan kondisi dunia kedokteran itu. Dunia yang sulit di mengerti. Bahkan perawat pun, yang katanya dunia bersisian kedokteran, belum tentu benar-benar mengerti. Kekhawatiran itu terkadang juga membuat saya berpikir lebih baik memang dengan sesama dokter saja.
Tapi, bukankah memang pasangan itu diciptakan untuk saling mengerti ? Bukan seorang dokter pun, jika ia mencintaimu, kalian akan saling mengerti satu sama lain. Bagi saya, cinta itu tak selalu manis dengan satu pendapat dan lain lainnya. Pengertian justru muncul dengan adanya ketidaksepakatan yang kemudian dikomunikasikan. Dan tidak semua hal mutlak harus ditolerir atau dimaklumi.Â
Jika semua hal dari mu ia maklumi, darimana kau tahu apa yang ia benci ? Manusia itu selalu memiliki dua sisi. Dan kehidupan berpasangan adalah kehidupan yang harus saling sinergi di kedua sisinya. Kamu harus menerima pasanganmu dalam bentuk paket lengkap. Baik dan buruknya. Bukan paket hemat.
Jadi, dengan dokter atau bukan dokter, saling mendengar, mengenali, dan mengerti pasangan adalah keharusan bagi setiap kita. Bahkan tidak jarang, sesama dokter bercerai karena kesibukan yang tinggi dan tak lagi ada waktu untuk sekedar menertawakan kepenatan yang di lalui. Terkadang kita tidak butuh dia mengerti sepenuhnya, kita hanya butuh seseorang yang mendengar tanpa penghakiman. Begitu pula sebaliknya.
2. Ekonomi
Ini biasanya masalah utama bagi para dokter perempuan dalam mencari pasangan hidup, yang rata-rata akhirnya pilihan jatuh pada dokter juga. Biar imbang. Dan yang berani melamar memang cuma dokter juga.
Biasanya minder nya para laki-laki ya disini ini. Apalagi anak kedokteran banyak dikenal sebagai anak-anak dari kalangan menengah ke atas. Tak sedikit yang bermobil kalau ke kampus. "Apalah arti roda dua dibanding roda empat?" Begitu biasanya pikiran mereka. Minder. Dan yah memang, di kalangan anak kedokteran sendiri, agak matre ya. Hahaha. Bercanda.
Nyatanya memang, strata ekonomi masih menjadi perhatian banyak kalangan, terutama para orang tua. Saya pribadi kalau soal ini, hanya bisa jawab, "Saya melihat potensi yang dimilikinya." Hahahahaha.
Intinya, rezeki itu dijemput. Tidak harus berprofesi dokter, kalau kita mau berusaha, insyaallah rezeki itu ada. Tidak usah dipusingkan. Tapi lebih baik kalau kita sudah punya prospek kehidupan kita ke depan. Laki-laki yang baik tentu paham atas tanggung-jawabnya baik ekonomi, psikis, moral, pendidikan, dan banyak lagi terhadap istri dan anaknya. Jadi, kalau hari ini masih prihatin, tunggulah kelak. Dampingi ia. Disisi laki-laki yang berhasil selalu ada perempuan hebat yang mendampinginya. Makanya cari laki-laki yang berpotensi untuk dikembangkan, supaya lebih besar peluang berhasilnya. Hahahaha.
3. Pendidikan
Anak kedokteran itu banyak yang mau sekolah lagi di pendidikan spesialis. Sementara, pendidikan spesialis itu pendidikan yang lebih sibuk lagi dari pendidikan kedokteran umum. Lebih kompleks. Butuh pengertian ekstra dari seorang pasangan non-dokter. Tidak jarang ini memicu timpangnya strata pendidikan. Para anak kedokteran untuk sementara ini banyak membayangkan mereka bisa ambil sekolah spesialis bersama dengan pasangannya.
Bagi saya sendiri, prinsipnya kalau bisa sama-sama mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, kenapa tidak ? Kamu sekolah, dia sekolah. Bukankah jodoh itu sekufu ? Saya yakin itu. Insyaallah pemikiran kita dengannya tak akan berbeda jauh. Kalau kamu memiliki pemikiran untuk lanjut sekolah dan mimpi-mimpi lainnya, insyaallah jodohmu pun seorang pribadi dengan pemikiran yang sejenis. Tidak harus dibidang ilmu yang sama (baca : kedokteran), setiap profesi memiliki jenjang pendidikan dan pengembangan kompetensi yang mampu meningkatkan kualitas wawasan dan profesionalisme seseorang.
Melanjutkan pendidikan bukan untuk persaingan gelar dan strata sosial, tapi karena ilmu adalah ciri orang beriman. Tuntutlah ilmu. Hiduplah dengan ilmu. Ilmu lah yang mengangkat derajat kita, karena dengan ilmu kita mampu menjadi bermanfaat. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.
Tiga dulu ya. Setidaknya itu sudah bisa mewakili isu tentang 'jodoh' dalam dunianya para dokter. Sebenarnya kita hanya perlu membuka sudut pandang kita dalam melihat peran kita kelak jika hidup berdampingan. Namanya membina keluarga, ya membina kehidupan. Dan kehidupan tak bisa dilihat hanya dari satu bidang nya saja.Â
"Kalau calon saya bukan dokter, saya bakal di jodohkan dengan yang dokter, mbak. Atau yang setara menurut orang tua saya. Mama saya bilang, mama lebih tau mana yang terbaik buat kamu."
Hmm. Setuju. Seorang ibu memang tahu mana yang terbaik untuk anaknya. Bunda saya pun punya kriteria calon imam untuk putrinya ini.
"Seorang yang baik sholatnya. Baik lagi merdu bacaan Qur'annya. Baik pemahaman agamanya. Baik tutur bahasanya dan santun akhlak perilakunya. Baik keluarganya. Baik pendidikannya. Dan memang mau dengan anak Bunda ini."
Jadi dokter atau bukan dokter, pasangan ideal itu adalah dia yang memang mau dengan kita. Hahahaha.
Semoga setiap hati yang masih merindu, segera digenapkan kerinduannya.
Semoga setiap jiwa yang telah menyatu, dikekalkan ikatannya hingga pada masa kehidupan yang abadi seutuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H