Misalnya, kita beralih ke tokoh Rangga di poin dua. Penulisnya cerdas dalam menyampaikan pesan kepada atheis tentang islam. Rangga bukan seorang ustaz. Tapi karena dia adalah pemuda yang cerdas, sehingga dia dengan mudah menjawab pertanyaan temannya yang seorang atheis tentang islam.Â
Pertanyaannya sangat memojokkan islam, tapi karena kecerdasan Rangga, dia menggunakan logika ketika berpikir, maka pertanyaan orang atheis itu terjawab dengan apik dan cerdik. Nah, ini pesannya akan sampai sekali ke pembaca. Karena pesan yang ingin disampaikan, sesuai dengan karakter tokohnya.
TERAKHIR, pahami pembaca.Â
Seperti yang saya katakan pada tips nonfiksi di atas. Jangan langsung men-judge, sekalipun ini lewat sebuah cerita fiksi. Karena pembaca bisa saja sakit hati walau pesannya disampaikan oleh si tokoh.
Misalnya, kalau kamu ingin menyampaikan pesan tentang menutup aurat, kamu bisa saja memunculkan tokoh yang emosian dan langsung men-judge tokoh lain yang tidak berhijab.Â
Tapi, agar pembaca tidak tersindir, kamu juga harus memunculkan tokoh yang karakternya memahami perasaan mereka yang tidak berhijab. Sehingga, sindiran itu akan lebih halus ketimbang kamu hanya memunculkan tokoh yang bisanya men-judge saja.
Bagaimana, sampai sini apakah bisa dipahami? Semoga tulisan di atas bisa menjadi introspeksi kita bersama. Itu mungkin beberapa tips dari saya. Semoga bermanfaat dan bisa teman-teman terapkan dalam membuat tulisan. Saya pun belum 100% menguasai bagaimana membuat tulisan yang tidak menggurui, tapi semoga dengan tulisan ini, saya juga jadi belajar dan kembali introspeksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H