Mohon tunggu...
mahesa paranadipa
mahesa paranadipa Mohon Tunggu... -

medical doctor, like movies & travelling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Semua Dokter Adalah Pegawai Negeri?

9 November 2015   20:48 Diperbarui: 10 November 2015   01:01 2954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menerima hasil pembahasan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait gratifikasi dokter, menimbulkan sederetan kebingungan. Pasalnya, berdasarkan pendapat Eddy OS Hiariej, yang diundang dalam pembahasan tersebut sebagai ahli hukum, menyatakan profesi dokter (termasuk dokter swasta) dapat dikualifikasikan sebagai “pegawai negeri” yang termasuk dalam adresat Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.

 

Eddy OD Hiariej memberikan empat alasan utama yang menjadi dasar pernyataan tersebut, sebagai berikut :

  1. Profesi dokter diatur oleh suatu undang-undang (UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran) yang menjadi payung hukum berlaku tidak hanya bagi dokter dan organisasi dokter, namun berlaku juga bagi pasien yang merupakan bagian dari masyarakat umum.
  2. Dokter dapat berpraktik karena mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dalam arti ada campur tangan Negara untuk dokter dapat berpraktik di Indonesia.
  3. Dokter menjalankan fungsi layanan publik atau layanan umum bagi masyarakat sebagai pasiennya.
  4. Profesi dokter adalah kepanjangan tangan Negara dalam bidang kesehatan.

 

Pandangan ini jelas memberikan “kegalauan” bagi saya, dan dapat dipastikan bagi seluruh dokter swasta di seluruh tanah air, karena menghadirkan kebingungan. Dalam pandangan hukum, situasi ini dapat dikategorikan sebagai “ketidakpastian hukum”, atas dasar pertimbangan sebagai berikut :

  1. Jika dokter swasta juga dikategorikan sebagai pegawai negari, mengapa hak-haknya sebagai pegawai negeri tidak diberikan sebagaimana pegawai negeri lain?

Jika kajian ini sepenuhnya menggunakan referensi hukum yang sama, di dalam Undang-Undang No.5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 7 ayat (1) menyebutkan PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secarai nasional. Sedangkan yang dimaksud Pejabat Pembina Kepegawaian didefinisikan di Pasal 1 butir 14 adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan Manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Lebih lanjut dijelaskan di Pasal 53, bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepada :

  1. menteri di kementerian;
  2. pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian;
  3. sekretaris jenderal di secretariat lembaga Negara dan lembaga non structural;
  4. gubernur di provinsi;
  5. bupati/walikota di kabupaten/kota.

 

Dari tiga pasal di atas, dokter non PNS tentu tidak dapat dikategorikan sama dengan “pegawai negeri”, karena :

  • tidak memiliki nomor induk pegawai
  • tidak diangkat berdasarkan surat pengangkatan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian

 

Jika perdebatan pada kedudukan STR yang diterbitkan oleh KKI identik dan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan surat pengangkatan oleh lembaga Negara tentu tidak sama dengan surat pengangkatan, karena di dalam Pasal 6 UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebutkan bahwa KKI mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Sedangkan penetapan di mana si dokter berpraktik selanjutnya menjadi kewenangan dari organisasi profesi (IDI) dan Dinas Kesehatan setempat (Pasal 36-38 UUPK).

 

JIka kembali ke UU ASN, pada Pasal 22 disebutkan bahwa PNS berhak memperoleh :

a. gaji, tunjangan, dan fasilitas;

b. cuti;

c. jaminan pensiun dan jaminan hari tua;

d. perlindungan;

e. pengembangan kompetensi.

 

Untuk butir a di atas jelas bahwa dokter swasta tidak mendapatkan gaji, tunjangan, dan fasilitas dari pemerintah. Perdebatan muncul jika dokter swasta menjadi provider dari BPJS Kesehatan, kemudian mendapat dana jasa medik sebagai bagian dari dana BPJS KEsehatan yang diterima oleh dokter tersebut secara langsung atau diterima melalui fasilitasnya.

 

Untuk butir b, pemberlakuan cuti sesuai dengan ketentuan di mana sang dokter bekerja.

 

Untuk butir c, jika sang dokter tidak diikutkan Jaminan Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) tentu tidak mendapatkan jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Untuk dokter yang berpraktik perorangan hal ini dapat dipastikan tidak diperoleh oleh sang dokter.

 

Untuk butir d, seluruh dokter swasta bisa dipastikan tidak mendapat perlindungan dari pemerintah. Jika perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan hukum, dokter swasta dan dokter PNS lebih banyak memperolehnya melalui organisasi profesinya (di dalam IDI ada Biro Hukum Perlindungan,dan Pembinaan Anggota-BHP2A). Meski tidak semua BHP2A IDI Cabang/Wilayah efektif berjalan di daerah, namun setiap kasus hukum yang dihadapi oleh anggota IDI, aparat hukum akan menghubungi IDI setempat. Dalam menjalankan fungsi perlindungan terhadap anggotanya, IDI tidak mendapat dana apapun dari pemerintah.

 

Untuk butir e, dapat dipastikan hampir seluruh dokter swasta harus merogoh kocek sendiri demi menjaga dan mengembangkan kompetensinya. Hal ini pula yang selalu dikaitkan dengan isu kolusi dokter-farmasi. Padahal, di dalam kode etik kedokteran maupun GP-Farmasi, pembiayaan kegiatan ilmiah yang diberikan oleh farmasi kepada dokter selama memenuhi batasan-batasannya dianggap tidak melanggar etik. Organisasi profesi, baik IDI maupun perhimpunan dokter selalu mengupayakan kegiatan pengembangan kompetensi yang dapat dijangkau oleh seluruh anggotanya.

 

Terkait hal ini, sebuah bentuk ketidakadilan sangat dirasakan oleh dokter, ketika dituntut untuk terus menjaga dan meningkatkan kompetensi demi menjaga mutu layanan kepada masyarakat, dokter seakan dibiarkan oleh Negara, dan yang terjadi adalah stigma kolusi dokter-farmasi selalu dikaitkan dengan mahalnya harga obat.

 

Dari beberapa hal di atas, berdasarkan pemahaman hukum dan akademik saya, dokter swasta tidak dapat dikategorikan sebagai pegawai negeri.

 

  1. Apakah konsekuensi hukum yang dapat dikenakan kepada dokter pegawai negeri juga sepenuhnya dapat dikenakan juga kepada dokter swasta?

Jika kita sepakat mengenai kedudukan dokter swasta pada poin 1 di atas, maka konsekuensi hukum dokter PNS tidak sama dengan dokter swasta. Namun satu hal yang seharusnya tertanam dalam diri setiap dokter, norma tertinggi kedokteran adalah norma etik yang telah bertahan berabad-abad lamanya demi menjaga keluhuran profesi dokter. Norma etik tidak gampang berubah meski banyak kepentingan dan perubahan cara pandang dokter terhadap profesinya. Lain halnya dengan norma hukum yang selalu labil mengikuti perkembangan dan dinamika zaman dan bangsa.

 

Pusaran perdebatan dipastikan akan muncul ketika membahas kedudukan dokter swasta yang menerima dana negara dari pelaksanaan JKN-BPJS. Potensi “memperkaya diri” dapat dimungkinkan muncul jika system pembayaran jaminan kesehatan masih menggunakan mindset fee for service di dalam paket pembayaran menggunakan sistem INA-CBGs. Potensi ini sulit terjadi di dalam system pembayaran kapitasi di pelayanan primer. Mindset “semakin banyak pasien, semakin banyak tindakan dan peresepan, semakin banyak jasa medik yang diperoleh” akan terus dihimpit oleh kecurigaan akan niat “memperkaya diri”, niat yang dikedepankan mendahului kepentingan pasien.

 

Di beberapa rumah sakit, khususnya RS milik pemerintah, pengadaan obat dan alat kesehatan wajib menggunakan aplikasi pemesanan (E-Catalog atau E-Purchasing)yang ditetapkan oleh pemerintah telah sedikit banyak mengurangi potensi tersebut. System remunerasi yang diterapkan oleh beberapa RS juga merupakan bagian dari perbaikan pelayanan dan memperbaiki kultur pelayanan. Namun dampak berupa penurunan take home pay selalu memberikan suasana tidak nyaman bagi dokter sehingga menimbulkan reaksi penolakan.

 

Di luar diskusi mengenai kedudukan dokter, saya memandang area positif yang mungkin dapat muncul dari perdebatan ini. Sudah seharusnya negara memandang dokter sebagai aset penting negara sebagaimana pentingnya aparatur pertahanan yaitu TNI. Dokter adalah bagian penting dari sistem pertahanan bangsa yang menjaga rakyat agar tetap sehat. Rakyat yang sehat diharapkan menjadi lebih produktif dan lebih tangguh di tengah persaingan global. Rakyat yang tidak mampu bersaing meningkatkan potensi negara dikuasai oleh tangan-tangan asing yang selalu bernafsu menguasai potensi dalam negeri.

 

Menjadikan dokter sebagai aset negara harus dimulai dari hulunya yaitu pendidikan kedokteran. Negara harus memikirkan mengenai keterjangkauan pendidikan kedokteran oleh anak bangsa yang memiliki potensi akademik maupun kepribadian. Anak bangsa di sini adalah putra dan putri yang lahir dari rahim istri petani, nelayan, pedagang, pegawai, atau siapapun yang hidup di Republik ini. Pendidikan kedokteran harus dijalani oleh generasi dokter yang akan datang tanpa harus memikirkan biaya pendidikan, apalagi memikirkan “kembalinya modal” sang orang tua.

 

Negara yang saya maksud di sini adalah konteks tiga pilar yaitu Eksekutif-Legislatif-Yudikatif. Eksekutif harus dapat memfasilitasi komunitas dokter dengan regulasi-regulasi yang menciptakan rasa nyaman dalam memberikan pelayanan dan mendorong mutu pelayanan terus ditingkatkan. Legislatif harus menyokong dengan perundang-undangan serta politik anggaran yang menata system pelayanan kedokteran di Indonesia menjadi lebih baik. Dan yang terakhir Yudikatif, seharusnya memberi rasa perlindungan bukan ancaman terhadap pelayanan kedokteran. Hukum seharusnya dapat memberi arah yang benar bagi warga Negara untuk menjalankan tugas dan kewajibannya bukan malah memberikan bidikan sanksi sehingga warga Negara harus tertekan dan terintimidasi.

 

Saya yakin, setiap dokter yang pernah melafazkan Sumpah Dokternya akan terus menjaga dirinya berjalan dalam tuntunan Sumpahnya. Sumpah yang dilafazkan atas nama Tuhannya, yang kelak meminta pertanggungjawabannya. Sumpah ini juga yang terus menjaga dokter sebagai profesi luhur. Semoga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun