Mohon tunggu...
sidik pamungkas
sidik pamungkas Mohon Tunggu... -

Guru SD, suka membaca dan selalu mendambakan kehidupan damai sejahtera di jagad raya ini. Meyakini Tuhan sendirilah yang akan menata kembali dunia manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Maha Kuasa

28 Januari 2017   23:22 Diperbarui: 29 Januari 2017   00:12 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada saat saya membayangkan Tuhan, saya seringkali tertawa sendiri.  Tertawa di dalam hati saya, dan adakalanya, tawa saya sampai juga terekspresi dalam senyum di bibir.  Rasanya ada yang lucu dalam hubungan kami manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.  Betapa tidak.  Hampir semua spesies manusia meyakini adanya Tuhan, dengan beragam sebutan dan deskripsinya.  Dengan segala nama dan sifatnya.  Secara umum, diyakini oleh banyak manusia bahwa Tuhan itu maha-kuasa, apapun nama, sebutan dan sifatnya. Dan kebanyakan dari mereka ternyata tidak konsekuen dengan apa yang mereka yakini. Ini lah yang membuat saya tersenyum.

Kalau memang manusia itu (termasuk saya) konsekuen dengan keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan, tentunya manusia bisa menerima apapun yang terjadi pada dirinya.  Kemahakuasaan Tuhan itu mutlak, dan tidak bisa ditawar-tawar maka kehendak-Nya yang terwujud dalam kejadian dan peristiwa apapun di alam semesta raya ini ya terjadilah. Apakah kejadian atau peristiwa itu menggemparkan manusia (misalnya tsunami, gunung meletus atau perang besar) atau hanya sekadar kejadian biasa (misalnya sehelai daun yang melayang jatuh) tetap saja itu atas kehendak dan kuasa mutlak Tuhan. Dan begitulah keyakinan umum manusia atas kemahakuasaan Tuhan, mutlak tanpa tawar-menawar atas apa yang sudah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi.

Tetapi pada kenyataannya, tidak semua manusia (termasuk saya) jarang bisa menerima apapun yang terjadi.  Kalau yang terjadi menguntungkan, so pasti manusia bisa menerima dengan lapang dada dan sujud syukur.  Misal saja, si Badu menang lotre milyaran rupiah, atau dia mendapatkan rejeki nomplok, rasanya bisa dipastikan dia akan berterima kasih, bersyukur dengan cara dia kepada Tuhan.  Kalau yang terjadi biasa-biasa saja, misalnya si Budi menerima gaji untuk jerih payahnya selama sebulan, dia akan menanggapinya biasa-biasa saja.  Wajarlah … hasil dari kerjanya.  Dan, bila yang terjadi tidak menguntungkan dirinya, misal saja si Bidu menderita penyakit kronis, ada beberapa kemungkinan tanggapan yang muncul darinya. 

Kemungkinan pertama, si Bidu akan menggerutu sambil mencari-cari penyebabnya, yang biasanya dilanjutkan dengan upaya mencari solusinya.  Kemungkinan kedua, si Bidu mencoba mawas diri, ada apa dengan dirinya sampai bisa terjangkit penyakit kronis, yang biasanya dilanjutkan dengan upaya perenungan dan bisa jadi memunculkan pertobatan dalam dirinya.  Kemungkinan ketiga, si Bidu bertanya dalam hati … “cobaan apa lagi yang Engkau berikan padaku, ya Tuhan”, yang biasanya dilanjutkan dengan upaya bertabah-tabah diri dengan keyakinan bahwa itu memang cobaan Tuhan.  Kemungkinan keempat, si Bidu meyakini bahwa Tuhan akan menolongnya, dan ini biasanya dilanjutkan dengan kegiatan berdoa, mohon pada Tuhan agar diberi kesembuhan.  Dan tentunya masih ada kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Inilah yang membuat saya tersenyum.  Kalau manusia (dan juga saya) konsekuen akan kemahakuasaan Tuhan, mereka tentunya akan dan bisa menerimanya dengan lapang dada.  Mengapa?  Karena yang terjadi pada diri manusia (dan mungkin juga yang lain – gunung meletus, hujan deras, daun jatuh, dan lain sebagainya) tentunya terjadi atas kehendak-Nya, atas kehamakuasaan-Nya.  Jelasnya, kalau kita meyakini Tuhan berkuasa mutlak, apapun yang terjadi harus kita terima dengan lapang dada, tidak perlu menggerutu.  Tidak pula harus menyalahkan ini dan itu, atau protes karena ini dan itu.  Sekali lagi, kalau manusia konsekuen atas keyakinan mereka pada kemahakuasaan Tuhan.

Tetapi, manusia tetaplah manusia, dengan beragam watak, karakter dan perilakunya.  Yang pasti, entah seberapa ukurannya, di dalam diri manusia ada keakuan, egoisme.  Saya pikir, keakuan inilah yang sering membuat kita tidak konsekuen dengan keyakinan kita.  Kok begitu?  Ya memang begitu fakta di lapangannya.  Mari kita amati apa yang terjadi di sekitar kita.  Sebut saja sebagai contoh si Dubi tidak lulus ujian.  Kejadian ini akan menimbulkan banyak pemikiran, perkataan dan perbuatan.  Bisa jadi, bapaknya menyalahkan anaknya yang lebih banyak main game daripada belajar.  Bisa jadi, bapaknya menyalahkan gurunya karena gak becus mengajar.  Bisa jadi, bapaknya menggerutu keberatan dengan adanya ujian, tentunya dengan berbagai alasan.  Atau, lihat saja hingar-bingar manusia saat diduga ada manusia yang menodai keyakinan manusia.  Ini salah kamu … ini dosa … ini …. entah apa lagi.  Dan masih banyak lagi pemikiran, perkataan dan perbuatan manusia yang muncul manakala ada suatu peristiwa.  Kalau pemikiran, perkataan dan perbuatan tadi mencerminkan sikap menerima semua yang terjadi, okelah.  Itu namanya konsekuen.  Oke Tuhan, kami manusia menerima semua yang terjadi atas kehendak-Mu dan dalam kuasa-Mu.  Tetapi kenyataannya kok tidak demikian.  Mereka masih saja suka ribut-ribut yang pada intinya disebabkan oleh sikap tidak bisa menerima apa yang terjadi.  Lebih konyol lagi ada banyak  manusia yang tidak bisa menerima keberadaan sesuatu, entah itu berupa benda, tumbuhan, hewan atau manusia.  Padahal amat sangat jelas bahwa keberadaan sesuatu tadi diyakini atas kehendak Tuhan, atas ijin Tuhan dan tentu saja berada dalam kuasa mutlak Tuhan.

Mengapa bisa terjadi demikian?  Kalau kita coba merenung sebentar, dapat kita rasakan bahwa sikap tidak konsekuen kita muncul dari keakuan dalam diri kita.  Ada benih keakuan dalam diri kita yang terbawa sejak kita lahir.  Benih keakuan ini ternyata tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan hidup kita.  Ini berarti semakin menjadi besar seseorang bertumbuh dan berkembang, semakin besar pula keakuan dalam dirinya.  Semakin besar pula tingkatan sikap menyamakan dirinya dengan Tuhan, dan biasanya diiringi dengan semakin berkuasa.  Faktanya jelas.  Tidak ada anak bodoh yang suka menyalahkan orang lain atau menolak kehadiran orang lain, tetapi banyak orang (yang merasa) pandai dan suci bersikap sebaliknya.

Ringkasnya, banyak yang meyakini kemahakuasaan mutlak Tuhan tetapi hanya sedikit yang konsekuen dengan keyakinan tadi.  Banyak yang bersumpah mengakui kemahakuasaan Tuhan, tetapi hanya sedikit yang konsekuen dengan sumpahnya.  Selidik punya selidik, hal ini ternyata berbanding lurus dengan tingkat keakuan dalam diri manusia.

Dalam senyum saat membayangkan Tuhan, saya terkadang mencoba menghitung.  Kalau yang menjadi sebab sikap tidak konsekuen tadi keakuan dalam diri manusia, tentunya akan ada korelasi negatif antara keakuan dan keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan.  Maksud saya begini.  Kalau ada manusia yang merasa, mengaku bahwa apa yang terjadi pada dirinya 100% merupakan hasil dari perhitungannya, rencana matangnya, usahanya, maka menurut hitungan saya, kemahakuasaan Tuhan dalam keyakinan manusia tadi hanya 0%.  Tetapi, hanya sebagian yang begitu.  Kebanyakan fifty-fifty.  Keberhasilan biasanya diakui sebagai hasil usaha manusia (50%) dan atas kehendak Tuhan (50%).  Hanya sedikit sekali yang merasa bahwa apapun yang terjadi atas dirinya merupakan kehendak Tuhan, dan menerimanya dengan lapang dada.  Seberapa besar tingkat konsekuensi kita atas keyakinan kita pada kemahakuasaan mutlak Tuhan tentunya bisa kita hitung sendiri.  Tentunya berbeda satu sama lain, dan mungkin pula berbeda untuk suatu hal dengan hal yang lain. 

Masih dalam senyum yang sama, yakni saat membayangkan Tuhan,  terkadang muncul keliaran saya dalam bentuk memberanikan diri bertanya-jawab dengan Tuhan.  Tanya-jawabnya kira-kira begini.

“Tuhanku, kenapa tidak Engkau buat saja sesamaku manusia bisa menerima kehendak-Mu dengan lapang dada?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun