Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bu Mien, Catatan Seorang Tentara, Seberkas Cahaya di Titik Nadir

23 November 2020   12:32 Diperbarui: 23 November 2020   12:34 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ibu Sewaktu Masih Muda-Doc.pribadi

Perjalanan hidup bersama ibu bagaikan sekolah kehidupan bagi kami anak-anaknya. Lika-liku kehidupan yang kami alami, menuntut kami untuk belajar menghadapi semua peristiwa dengan sikap terbaik.

Kami pernah mengalami berada pada posisi puncak dan pernah pula terjatuh pada posisi paling bawah. Karakter ibu menjadi penyeimbang bagi ayah dalam menghadapi segala rintangan dan kesulitan.

Mandiri dan Berani Mengambil Keputusan

Mien muda, demikian orang biasa memanggilnya. Terlahir di sebuah desa di provinsi Jawa Tengah dari keluarga Carik yang saat itu bisa disebut cukup terpandang. Mbah Carik, demikian masyarakat sekitar memanggilnya, mendidik anak-anaknya untuk dapat mandiri.

Selepas SMA, Mien muda, mengikuti kakak laki-lakinya yang telah lebih dahulu pergi mengikuti pendidikan Angkatan Laut di Surabaya. Keputusan yang cukup berani, mengingat masih jarang kaum wanita saat itu tertarik menjadi tentara karena dominasi pria pada bidang tersebut. Selama ini Mien juga belum pernah tinggal lepas dari kedua orang tuanya.

Di luar dugaan keinginan tersebut ternyata mendapat dukungan dari Mbah Carik. Karena kecerdasannnya, Mien diterima di Angkatan Laut dan menjadi salah satu  dari wanita yang lulus di Sekolah Dasar Bintara /Sedasba Kowal. Ini adalah angkatan pertama yang merekrut wanita sebagai anggotanya.

Selesai pendidikan Mien ditempatkan di Jakarta yang jauh dari desa kelahirannya. Disinilah beliau bertemu lelaki yang kelak menjadi jodohnya.

Beberapa tahun kemudian Mien menikah dan kelak dikaruniai empat orang anak. Aku adalah anak keduanya. Ayah termasuk pekerja keras. Beberapa bidang pekerjaan dijalaninya dari fotografer, wartawan hingga penulis. Ayah juga seorang pegawai negeri di lembaga pemerintahan.

Saat itu baru ada aku dan kakakku. Kami tinggal di rumah dinas mirip rumah susun zaman sekarang di bilangan Jakarta Selatan. Kehidupan kami lumayan mapan karena kedua orang tua yang bekerja. Jika ibu bekerja ada pembantu yang mengurus kami.

Mbah Putri, ibu dari ayahku, sering tinggal bersama kami. Kebetulan rumah beliau berada di seputaran Jakarta Selatan. Jika ayah dan ibu bekerja, Mbah Putri sering menginap dan menemani kami.

Seiring waktu, jabatan ayah semakin bersinar. Kami pindah ke perumahan yang lebih besar di wilayah Tangerang. Kemudian aku memperoleh dua orang adik, lelaki dan perempuan. Saat itu ibu masih bekerja.

Kakakku mulai sering sakit-sakitan sampai dia harus dirawat selama beberapa hari karena usus buntu yang mengharuskannya menjalani operasi. Disini ibu dihadapkan pada dilema seorang wanita karier. Memilih bekerja atau mengurus empat orang anaknya. 

Bagaimanapun perhatian seorang pembantu pasti berbeda dengan kasih sayang ibu kandung. Ibu juga tak mau merepotkan Mbah Putri di usia tuanya, beliau sudah bertekad untuk mandiri dalam segala hal.

Dengan berbagai pertimbangan ibu akhirnya memilih mengundurkan diri. Keputusan yang banyak disayangkan orang. Mengingat karier yang mungkin ibu capai sebagai tentara. Tapi naluri keibuannya lebih dominan. Keputusan ini membuat kami anak-anaknya bisa lebih dekat dengan ibu secara emosional.

Kemandirian dan keberanian ibu dalam mengambil keputusan ini sangat membekas di hati kami. Dan mempengaruhi anak-anaknya di kemudian hari.

Bertanggung Jawab dan Senang Berbagi

Setelah memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, ia menunjukkan tanggung jawabnya dengan baik mengurus kami sekeluarga. Saat itu kami masih mempekerjakan pembantu untuk bekerja di rumah.

Seiring waktu ayah mendapatkan fasilitas kendaraan dinas dari tempatnya bekerja. Karena keuangan yang mencukupi, ayah juga membeli 3 rumah lagi di kampung yang berbatasan dengan perumahan kami, rencananya mungkin untuk investasi dan tempat tinggal kami kelak ketika dewasa. Jaraknya sangat dekat hampir berhadap-hadapan dengan rumah yang kami tinggali.

Ketimbang rumah tersebut kosong, ayah meminta pertimbangan ibu bagaimana jika Mbah Putri pindah ke rumah tersebut agar rumah juga tidak mubazir dan bisa ada yang merawat. Ternyata ibu menyambut baik usulan tersebut, Mbah Putri juga bisa lebih mudah diawasi mengingat usianya yang sudah lanjut.

Walau terbilang mapan, keluarga kami terbiasa berbagi. Rumah kami menjadi tempat berkunjung dan menginap saudara-saudara baik dari pihak ayah maupun ibu. Mereka semua betah dengan keramahan yang ibu tunjukkan.

Banyak saudara dari kampung yang mencari kerja di kota menjadikan rumah kami sebagai persinggahan. Beberapa orang berhasil mendapatkan kerja dengan bantuan koneksi ayah baik sebagai pegawai negeri maupun swasta. Ibupun tak segan-segan menjamu dan memperlakukan mereka layaknya keluarga selama tinggal di tempat kami.

Semenjak Mbah Putri tinggal di dekat kami, ibu juga menunjukkan tanggung jawabnya sebagai seorang anak menantu. Merawat dan memenuhi kebutuhan Mbah seperti layaknya orang tua sendiri. Boleh dibilang ini cukup luar biasa mengingat konflik yang biasanya sering terjadi jika seorang isteri tinggal berdekatan dengan mertua wanita.

Dua rumah kami yang semula kosong juga sudah berpenghuni. Satu rumah ditempati sementara oleh kakak kandung ayah dan keluarganya yang saat itu kebetulan belum memiliki rumah. Satu rumah lagi ditempati keluarga jauh ayah yang sedang mencari kerja di Jakarta. Lumayanlah jadi ada yang merawat rumah.

Rumah kami sering didatangi baik tetangga, kenalan ataupun saudara yang membutuhkan uluran tangan. Semuanya dibantu walaupun terkadang mereka lupa ataupun tak mampu mengembalikan pinjaman yang telah diberikan.

Aku saat itu sempat bertanya kepada ibu. Kira-kira apakah mereka akan ingat pada saat kita dalam kesulitan dan mau balik membantu. Jawaban ibu sangat menyentuh hatiku sehingga teringat hingga saat ini.

"Nak, kita tidak usah berharap orang yang telah kita tolong akan membantu kita nanti. Karena Allah akan kirim orang-orang lain yang lebih banyak untuk membantu kita kelak saat kita kesusahan."

Prinsip ini kelak yang menyelamatkan di saat kami berada di masa-masa sulit

Tegar Saat Terpuruk

Suatu hari seorang kenalan ayah datang dan bercerita bahwa ia membutuhkan beberapa barang untuk memenuhi kebutuhan suatu perusahaan. Karena ingin membantu, ayah kemudian mengenalkan orang tersebut dengan sejumlah pengusaha.

Disinilah awal bencana itu datang. Pembayaran yang semula lancar kepada para pengusaha lambat laun mulai seret. Hingga akhirnya berhenti sama sekali. Kenalan ayah juga mulai sulit dihubungi sampai akhirnya menghilang bagai ditelan bumi. Padahal barang dari para pengusaha yang sudah masuk mungkin nilainya sudah sangat besar sekali.

Ayah yang berperan mengenalkan kepada para pengusaha ikut kena imbasnya. Mereka menganggap ayah ikut terlibat. Orang-orang suruhan para pengusaha mulai banyak yang datang ke kantor dari yang baik-baik hingga mengganggu lingkungan pekerjaan.

Sampai akhirnya ayah dikeluarkan dari tempatnya bekerja. Padahal ayah sudah coba menjelaskan bahwa ia hanya berperan mengenalkan saja dan tidak mendapatkan keuntungan apapun darinya. Ia juga tidak tahu keberadaan orang tersebut.

Dari preman hingga oknum aparat mulai datang ke rumah saat ayah tak di rumah untuk mengintimidasi. Ibu tetap tegar menghadapinya. Seorang oknum tentara yang semula datang dengan beringas mendadak berubah menjadi hormat. Setelah tahu ibu adalah mantan tentara dan menyebutkan beberapa temannya yang masih aktif dinas dengan pangkat yang lumayan tinggi.

Jika bukan ibu, mungkin akan memilih minggat dari ayah. Rasanya mungkin jarang ada wanita yang sanggup menghadapi tekanan seberat itu.

Pentingnya Toleransi dan Kemampuan Beradaptasi

Sejak itu kehidupan kami mulai gonjang-ganjing. Semua harta benda habis untuk menutupi kebutuhan kami. Dua rumah kami dijual. Satu rumah akhirnya dibeli oleh kakak kandung ayahku yang sebelumnya sudah menempati.

Ibu mengajarkan kami untuk beradaptasi dengan situasi ini. Kami mulai terbiasa makan nasi hanya dengan garam dan kerupuk. Aku bahkan pernah tak mampu membayar iuran sekolah hingga delapan bulan. Ibu sampai harus bolak-balik ke sekolah untuk memohon dispensasi.

Hal ini membuat aku malu untuk bersekolah. Ibulah  yang terus memberiku semangat. Puncaknya saat ayah meninggal dan ibu harus mengambil alih kepemimpinan keluarga.

Foto Reuni Ibu semasa sehat dengan Teman-teman KOWAL-Dok.pribadi
Foto Reuni Ibu semasa sehat dengan Teman-teman KOWAL-Dok.pribadi
Pergaulan ibu yang tidak memandang suku, golongan dan agama dari saat jaya dulu terbukti bermanfaat. Walaupun kami tidak mendapatkan bantuan dari orang yang pernah kami tolong. Namun banyak tetangga dan teman dekat yang memberikan perhatian. Bahkan tetangga yang berbeda agamapun berkenan mengulurkan tangannya.

Kakak perempuanku diterima bekerja di sipil Angkatan Laut juga atas rekomendasi teman ibu yang kebetulan juga berbeda agama. Aku juga berhasil untuk lulus kuliah.

Berbagai kejadian membuat kami menyadari mengapa ibu menekankan pentingnya toleransi dan kemampuan untuk beradaptasi.

Semangat Belajar Tak Kenal Umur mencari ilmu

Sebagai seorang muslim, ibu menyadari kekurangannya yang belum lancar membaca Al Qur'an. Ibu tak malu untuk belajar. Kebetulan di mesjid dekat rumahnya ada pengajaran baca Al Qur'an.
Beliau juga mengajak ibu-ibu lain untuk belajar mengaji. Sehingga banyak jamaah yang terkumpul mulai dari belajar baca Iqra hingga lancar dan mengkhatamkan Al Qur'an.

Ibu seolah menunjukkan kepada kami bahwa usia bukanlah halangan untuk menuntut ilmu dan memperbaiki diri.

Sabar Saat Diuji

Setelah ujian yang ibu alami ketika bersama ayah, rupanya Allah masih ingin menguji ibu dengan ujian dalam bentuk yang lain. Berawal saat ibu terjatuh yang mengakibatkannya patah tangan. Ternyata ini mengakibatkan tulang punggungnya bermasalah walaupun kondisi tangannya sebenarnya sudah pulih kembali.

Beberapa tahun kemudian ibu mendadak tidak bisa bangkit dari pembaringannya. Tulang punggung mengalami pergeseran sehingga harus menjalani fisioterapi cukup lama.

Dalam kondisi seperti itu ibu tetap sabar. Beliau tetap menjalankan ibadah walaupun sambil berbaring. Cobaan-cobaan dianggapnya sebagai ujian.
Sampai di suatu pagi seusai semalaman saya menungguinya. Ibu menghembuskan nafas terakhir dalam tenang tidurnya. Aku baru saja tiba di kantor ketika adik perempuanku mengabarkan berita tersebut sambil menangis haru.

Aku segera kembali pulang ke rumah. Kulihat senyum ibu yang terukir di bibirnya seperti pertanda Allah telah meluluskannya dalam ujian kesabaran.

Ibu seperti sedang menuliskan catatan terbaiknya di benak kami. Bagaimana membentuk karakter terbaik dalam menyikapi segala problematika hidup dan kehidupan ini. Ibu adalah sekolah pertamaku. Bagaikan seberkas cahaya di sebuah titik nadir. Ibu telah sukses menghantarkan anak-anaknya menyelesaikan pendidikan hingga mampu memperoleh pekerjaan.


Rasanya hanya ada satu kata yang bisa menggambar seorang ibu. 

SEMPURNA.


Tangerang, Nopember 2020
Mahendra Paripurna

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun