Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rumput Tetangga Lebih Hijau dari Rumput Sendiri, Apa Iya?

26 Oktober 2020   20:59 Diperbarui: 27 Oktober 2020   03:45 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kemarin saat saya ke warung di ujung gang dekat aula warga kebetulan melewati sebuah rumah. Disana saya melihat seorang tetangga sedang asyik mengobrol dengan isterinya. Sebut saja namanya Pak Tukiman dan Mbak Mia isterinya.

Mungkin pembaca ada yang bertanya mengapa saya memanggilnya dengan panggilan Mbak. Hampir semua orang di tempat kami memang biasa memanggilnya begitu. Karena perbedaan usia keduanya memang cukup jauh. Jika ada orang yang belum mengenalnya pasti akan menyangka bahwa Mbak Mia itu adalah anaknya.

"Pak." Mbak Mia kulihat menepuk bahu Pak Tukiman.


"Hmm. Ada apa?" Tanyanya.


"Kemarin aku lihat Bu Junaidi baru membeli oven panggang. Itu lho, oven yang ditaruh di atas kompor untuk membuat kue. Katanya mau mencoba buat, untuk dijual lagi." Mbak Mia berhenti sejenak untuk melihat reaksi suaminya. "Kayak enak saja kue bikinannya." Cibirnya.


Pak Tukiman masih diam tak berkomentar.


"Pak. Pak. Bagaimana kalau aku juga dibelikan oven tapi yang pake listrik. Biar nggak kalah sama dia. Nanti aku juga mau jualan kue. Buatanku pasti lebih enak jadinya. Gimana Pak?"


"Owalah. Yang. Yang. Kamu masak tempe aja sering keasinan apalagi bikin kue nanti malah jadi tertawaan tetangga"


Mbak Mia kulihat merajuk ia mencubit lengan suaminya. Hampir saja tawaku lepas mendengarnya. Bisa berabe nanti ketahuan menguping pembicaraan orang.

Di kehidupan sehari-hari rasanya kita sering mendapati hal seperti ini. Kita sering merasa iri dengan apa yang dimiliki orang lain. Sehingga ingin memiliki tanpa mengukur apakah sesuai dengan kemampuan kita.

Malamnya saat saya sedang duduk di pos jaga satpam kebetulan Pak Budi datang. Lumayan jadi ada tambahan teman mengobrol selain si pak satpam pikir saya.

Pak Budi mulai curhat mengenai isterinya yang sering membandingkan dirinya dengan Pak Karyo, salah satu orang kaya di lingkungan kami. Dia adalah seorang pejabat di sebuah kantor pemerintahan. 

Rumahnya megah dan memiliki sebuah mobil mewah. Isteri Pak Karyo sering memamerkan tumpukan  uang di rumahnya jika isteri tetanggaku itu berkunjung ke rumahnya. Entah dari mana ia memperoleh uang sebanyak itu. Tapi jelas akan membuat iri orang lain yang melihatnya.

Mendengar hal itu saya jadi teringat dengan obrolan Pak Tukiman kemarin pagi. Jadilah kami bertukar cerita. Entah dari mana mulainya. Mendadak obrolan kami jadi berubah fokus membahas tentang Mbak Mia.

Pak Budi mulai berbicara dengan penuh antusias. Dia menyatakan kekagumannya pada sosok Mbak Mia yang tidak seperti isterinya. Bagaimana seksinya tubuh Mbak Mia yang seperti 'Gitar Banyol'. Eh. 'Gitar Spanyol' maksudnya. Penilaian yang kalau saya bilang lebih kepada fisik semata namun tak bisa juga saya pungkiri kebenarannya.

Memang kalau saya bilang penampilan fisik Mbak Mia cukup sempurna dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Belum lagi kalau melihat ia bergoyang saat bernyanyi di panggung tujuh belasan tahun lalu. Suaranya yang merdu mendesah membuat orang ingin ikut bergoyang. Jika saat itu tidak ada Pak Tukiman mungkin sudah banyak yang naik panggung untuk 'nyawer'.

Saya jadi berfikir sepertinya pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga lebih hijau dari rumput kita sendiri ada benarnya. Karena kita sering kali melihat sesuatu yang dimiliki oleh orang lain lebih baik dari kita. T

erlepas dari benar atau salahnya penilaian tersebut. Hal ini sepertinya menjadi salah satu bukti bahwa sesuatu yang belum kita miliki selalu terlihat baik karena kita belum tahu benar kelebihan dan kekurangannya. Dan sebaliknya kita terkadang sulit melihat kelebihan dari apa yang kita sudah miliki karena terlalu fokus dengan kekurangannya sehingga kita kurang bersyukur  pada apa yang sudah kita miliki.

Lalu apa iya semua yang kita lihat pada orang lain selalu terlihat lebih hijau?

Pak Budi tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Ia menanyakan mengenai perihal putri saya Aisha. Bagaimana kegiatan belajarnya selama libur pandemi ini. Saya mulai bercerita tentang Aisha. 

Betapa ia tetap rajin belajar walaupun dilakukan secara daring. Semua tugas yang diberikan gurunya dapat diselesaikan tepat waktu tidak seperti teman-temannya yang lain. Saya sedikit menyindir Ira, putri Pak Budi, teman sekelas Aisha yang sering tidak mengumpulkan tugasnya. Kukatakan Aisha selalu masuk peringkat lima besar di sekolahnya.

Pak Budi sepertinya paham maksud saya. Dia malah membela putrinya dan malah menyalahkan gurunya karena terlalu banyak memberikan tugas rumah. Ia kemudian mengunggulkan prestasi anaknya yang baru menang pada pertandingan taekwondo yang diadakan secara virtual di tingkat Asia. Pak Budi kemudian balik menyindir dengan mengatakan prestasi di sekolah tidak penting yang penting bisa lulus tak perlu nilai bagus.

Jika tadi kami bisa satu pemikiran mengenai Mbak Mia ternyata untuk soal anak tidak demikian. Kami cenderung mengunggulkan putri kami masing-masing terlepas dari adanya keunggulan lain yang mungkin tidak dimiliki oleh putri kami.

Mungkin ini lebih pada persepsi masing-masing orang yang berbeda. Kalau soal anak perempuan saya sepertinya pepatah rumput tetangga itu berlaku sebaliknya. Saya dan mungkin juga Pak Budi mengganggap rumput sendiri lebih hijau dari rumput tetangga. Secantik atau sepintar apapun orang lain, saya menganggap putri saya adalah yang terbaik. Saya tidak tahu apakah pembaca lain juga sepemikiran dengan saya.

Sepertinya hubungan khusus antara seorang ayah dengan putrinya memang demikian luar biasa.  Sulit diungkap dengan kata-kata tapi hal ini nyata.

Karena waktu sudah malam saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Sampai di depan pagar rumah tiba-tiba seseorang menyapa.

"Baru pulang Pak?" Tanya seorang wanita yang membawa sebuah bungkusan plastik. Sepertinya ia baru dari warung berbelanja.

"Eh Mbak Mia. Ia ini baru dari pos jaga. Sudah malam jadinya mengantuk" ujar saya sambil tak lepas mata ini memandang tubuh aduhainya berlalu.

Sementara saya baru sadar bahwa rumput saya sendiri. Eh, maksudnya isteri saya sendiri sedang memandang dengan mata cemburu di muka pintu rumah.

Tangerang, Oktober 2020
Mahendra Paripurna

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun