Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anjani Sang Pengejar Bahagia Ditengah Luka

11 November 2018   20:04 Diperbarui: 11 November 2018   20:39 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panggil dia Anjani. Gadis yang menyimpan luka di sekujur tubuhnya. Di tangannya terlihat carut marut seperti bekas irisan silet atau mungkin juga dari sebuah pisau tajam. Tak ada darah yang mengalir, sepertinya hanya menggores kulit luar tepat diatas lapisan daging di tangannya.

Terkadang setelah barisan luka tersebut pulih. Maka luka lebam akan menggantikan hiasan dikulit putihnya. Laksana pukulan benda tumpul atau sebuah cambuk. Hanya wajahnya saja yang tetap mulus dengan matanya selalu terlihat sendu.

Dulu orang mungkin mengira luka tersebut berasal dari kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya. Yang merasa tertekan sejak meninggalnya ibunda Anjani. Tapi ternyata mereka salah. Sepeninggal sang ayah ternyata mereka tetap mendapati luka itu pada diri Anjani.

Saat ini Anjani tinggal bersama keluarga bibinya. Adik kandung dari sang ayah yang kebetulan tidak memiliki seorang anak. Kasih sayang mereka seakan tak mampu menghapus kepedihan dan mengembalikan kecerian saat bersama orang tuanya.

*****
"Ingatlah olehmu Jani. Kepedihan dan kesedihan adalah kebahagiaan kita. Setiap luka yang kita terima adalah nikmat dan kesenangan yang kita harapkan," begitu pesan yang selalu diucapkan oleh sang ayah.

Pesan tersebut demikian meresap. Anjani memang tak pernah melihat ayahnya menangis saat sang ibu meninggalkan mereka untuk selamanya. Anjani menyambutnya dengan ceria. Setiap luka adalah bahagia.

Kesulitan hidup yang mereka lalui berdua karena pekerjaan sang ayah yang tidak menentu juga tidak membuat senyum bahagia dari bibirnya menghilang.

Anjani tetap dapat bersekolah dari hasil jerih payah ayahnya. Segala caci maki orang sekitar dan teman sekolah tak pernah mereka pedulikan.

Terkadang Anjani menyakiti diri sendiri sekedar mencari luka untuk memperoleh bahagianya. Sang ayah tak pernah melarang. Karena beliau sendiri sering kali melakukannya.

Bahagia tak pernah hilang dari kehidupan mereka. Bahkan saat sang ayah pergi dari kehidupan Anjani untuk selamanya. Tak ada kesedihan, tak ada kepedihan karena luka dan duka yang seharusnya ia rasakan.

*****
Terbiasa mengalami hidup susah membuat dirinya tak dapat merasakan bahagia saat sang bibi memberikan kasih sayang dan perhatian sepenuhnya pada dirinya. Ia mulai mencari luka dan kesedihan untuk membahagiakan dirinya.

*****
Anjani yang saat ini sudah remaja mulai merasakan arti cinta. Ia mengagumi seorang teman sekolahnya. Seorang pemuda yang menjadi idola hampir semua murid wanita di sekolahnya. Andi namanya.

Ada satu sensasi yang belum pernah ia rasakan. Perasaan terluka yang tidak menimbulkan rasa bahagia pada hatinya. Saat melihat Andi berbincang mesra dengan Siska. Melihat ia menggandeng Rita sepulang sekolah. Dan setiap kali Andi membonceng gadis-gadis teman sekolahnya yang berbeda saat datang ke sekolah.

Anjani merasa luka kali ini menyakitkan. Mengiris-iris sanubarinya yang terdalam. Membuat gelisah setiap tidur malamnya.

"Ada apa Jani. Apa yang merisaukanmu. Kau ingat ayah dan ibumu nak ?"sang bibi mengelus rambut Anjani dengan penuh rasa sayang. Layaknya perasaan seorang ibu kepada anaknya.

Anjani tak menjawab. Hanya tatapannya yang kian membeku menyiratkan sejumlah luka.

*****
"Andi hentikan perbuatanmu. Aku benci melihatmu menggoda setiap gadis di sekolah kita. Kau mempermainkan perasaanku." Anjani setengah berteriak berkata. Ketika suatu sore mereka berdua bertemu sepulang sekolah.

Andi menatap keheranan. Baru kali ini ia mendengar Anjani mengucapkan kata kepadanya. Selama ini yang ia tahu Anjani adalah gadis pendiam yang jarang terlihat bercakap dengan teman-temannya. Sempat ia berfikir gadis ini bisu.

"Apa urusanmu. Apakah kita pernah kenal sebelumnya ?" Andi berkata dengan sinis. Ia sengaja mengeraskan suaranya sehingga teman-temannya mendengar pertengkaran mereka.

"Owh. Atau jangan-jangan kamu jatuh cinta kepadaku. Jangan mimpi ya. Aku tidak mungkin mencintai gadis aneh sepertimu." Andi berlalu pergi.

Kata-kata Andi menghujam bak belati yang mengoyak luka di hati Anjani. Luka yang terasa perih. Belum pernah ia merasakan luka sedahsyat ini. 

Orang-orang yang sedari tadi memperhatikan mereka terlihat saling berbisik dengan pandangan mencemooh.

Anjani tertunduk. Tetiba dia merasa dirinya terasing diantara puluhan orang yang seakan menghujatnya dengan kata-kata tajam yang melesat bagai anak panah ke tubuhnya.

Anjani berlari. Ia tak mampu menahan luka seperti ini. Kemana bahagia yang selama ini mengiringi luka. Ia tak memperdulikan kecemasan yang terlihat di wajah bibinya saat tiba di rumah.

Beberapa kali ia menampar mukanya dengan keras berharap luka yang akan mengembalikan bahagianya. Satu hal yang selama ini tidak pernah ia lakukan saat menyakiti dirinya. Tapi tak juga hilang rasa kepedihan itu.

*****
Sudah beberapa hari ini Anjani tidak pulang ke rumah. Sang bibi begitu khawatir akan keponakan kesayangan yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Dia sudah meminta bantuan semua orang yang dikenalnya mencari. 

Semua teman Anjani tidak ada yang tahu dan memang tidak ada satu temanpun yang akrab dengannya.
Sang bibi tak hentinya menangis berharap tidak terjadi peristiwa yang tidak diinginkan pada diri Anjani. Setangkup doa ia panjatkan untuk keselamatan Anjani.

*****
Ini adalah hari ketujuh sejak Anjani menghilang. Tepat ketika sebuah berita viral di media sosial tentang ditemukannya seorang lelaki yang tewas dengan sejumlah luka. Sementara tidak jauh dari sana tergeletak sesosok tubuh gadis dengan dada terkoyak. Di tangannya tergenggam sebilah belati yang berlumur darah. 

Si gadis tewas dengan senyuman yang tersungging di bibirnya.

Tangerang, November 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun