Mohon tunggu...
Mahendra Lavidavayastama
Mahendra Lavidavayastama Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 di salah satu PTS di DIY

Mahasiswa S1 di PTS di DIY yang memiliki hobi menulis dan memiliki ketertarikan dalam dunia sosial dan seputar hubungan internasional.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan Luar Negeri Indonesia dari Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono

2 April 2021   07:00 Diperbarui: 2 April 2021   07:06 4207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hubungan Luar Negeri. Sumber Foto: freedomsiana.id

Dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 dijelaskan apa yang dimaksud politik luar negeri adalah kebijakan, sikap, dan langkah yang diambil Pemerintah Indonesia dalam melakukan hubungan dengan negara lain...dalam rangka untuk menghadapi masalah internasional yang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional. Dari penjabaran tersebut sangat jelas kaitannya politik luar negeri dengan kepentingan nasional (national interest) yang ingin dicapai. Dalam mengambil sebuah keputusan atau kebijakan luar negeri seorang decision maker harus memerhatikan dinamika politik dalam negeri hal ini seperti yang dikatakan Henry Kissinger bahwa pembuatan politik luar negeri selalu berhubungan dengan politik domestik. Walaupun faktor eksternal juga berpengaruh kepada pengambilan keputusan.

Indonesia dalam mengambil sebuah keputusan politik luar negeri juga memperhatikan faktor internal dan eksternal walaupun dengan pendekatan yang berbeda-beda tergantung dari figur seorang pemimpin yang sedang menjabat. Berikut beberapa kebijakan yang dibuat presiden Indonesia sejak pasca kemerdekaan hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

1. Presiden Soekarno (1945-1966)

Pada era presiden pertama Indonesia sebagai negara yang baru lahir tentu saja membutuhkan pengakuan dari negara-negara lain di dunia internasional Presiden Soekarno memahami dan menyadari hal tersebut, beliau memainkan politik yang apik dalam dunia internasional sehingga tak heran jika Presiden Soekarno dikenal luas oleh masyarakat dunia sebagai pemimpin yang karismatik dan disegani oleh pemimpin dunia pada saat itu. Presiden Soekarno berhasil membuat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada tanggal 2 November 1949 harus diakui jika peranan Moh. Hatta dalam berdiplomasi sangat berperan penting dalam peristiwa tersebut.

Perlu diketahui bersama jika Soekarno adalah orang yang sangat anti dengan Imperialisme, Kolonialisme hal ini beliau kemukakan dalam sidang Majelis Umum ke-15 PBB pada tanggal 30 September 1960 dengan judul "To Build The World A New" atau "Membangun Dunia Kembali" dalam pidato tersebut Presiden Soekarno juga mengusulkan Pancasila digunakan sebagai alternatif ideologi selain Liberalisme dan Komunisme. Selain itu bentuk ketidak sukaan Soekarno terhadap imperialisme dan kolonialisme dapat kita temukan dalam upaya pembebasan Irian Barat yang masih terdapat Belanda didalamnya upaya ini dilakukan lewat jalur diplomasi dan militer; kemudian konfrontasi dengan Malaysia dikarenakan Soekarno menganggap pembentukan federasi Malaysia pro terhadap imperialis.

Kebijakan lainnya adalah ketika perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang kemudian disebut blok barat dan blok timur. Kedua blok ini menggalang kekuatan dari negara-negara yang baru merdeka atau notabene baru. Dalam peristiwa inilah bentuk politik luar negeri Indonesia lahir yaitu "bebas-aktif" yang di cetuskan oleh Mohammad Hatta dalam pidatonya yang berjudul "Mendayung Diantara Dua Karang" kemudian dari bentuk politik luar negeri inilah Indonesia menginisiasi terbentuknya Konferensi Asia Afrika maupun Gerakan Non Blok. Dalam hal ini nama Indonesia di kancah Internasional menjadi diperhitungkan dan tidak bisa dipandang sebelah mata.

Perhatian Presiden Soekarno terhadap kemerdekaan Palestina juga patut diapresiasi, pribadi Soekarno yang tidak suka bertele-tele dan tegas dalam menjelaskan maksud dan tujuannya menjadi modal penting dari kebijakan yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina diantaranya seperti mengikutsertakan Palestina dalam KTT KAA tahun 1953 dan menolak mengikutsertakan Israel dalam pertemuan tersebut yang di amini juga oleh Pakistan. Dalam pidatonya Presiden Soekarno secara terang-terangan memberikan dukungan terhadap negara-negara yang masih terjajah diantara yang disebutkan adalah Palestina; kemudian ketika Indonesia mendapatkan kedaulatan penuh pada tahun 1949 Israel mendukung kemerdekaan tersebut dengan mengirim surat kepada Soekarno dan berniat untuk membuka kantor perwakilan di Jakarta tetapi hal tersebut tidak pernah digubris oleh Soekarno

Pada Piala Dunia 1958 di Swedia sebenarnya Indonesia selangkah lagi untuk dapat berlaga pada kompetensi paling bergengsi di sepakbola tersebut tetapi dikarenakan Indonesia yang masuk pada putaran kedua berada satu grup dengan Mesir,Israel,dan Sudan Timnas Indonesia memilih mundur atas perintah Soekarno dikarenakan sama saja mengakui keberadaan Israel jika bertanding dalam satu lapangan dan  mendukung adanya kolonialisme; dukungan lainnya juga terlihat ketika Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV tahun 1962 pada waktu itu Presiden Soekarno enggan mengeluarkan visa untuk Israel dikarenakan Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel.

2. Presiden Soeharto (1967-1998)

Era orde baru yang berlangsung selama 32 tahun (1966-1998) memiliki andil besar dalam perpolitikan luar negeri Indonesia. Dalam mengambil kebijakan Presiden Soeharto cenderung lebih soft dalam mengambil suatu kebijakan dibanding dengan Presiden Soekarno. Beberapa kebijakan yang dijalankan diantaranya: Indonesia kembali masuk menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 setelah sebelumnya keluar pada era Soekarno; Indonesia memulihkan hubungannya dengan Malaysia lewat Menteri Luar Negeri Adam Malik dalam sebuah perundingan di Bangkok yang ditandatangani tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta setelah sempat berkonfrontasi pada era Presiden Soekarno; Indonesia juga memperbaiki hubungan diplomatik dengan negara-negara barat setelah sebelumnya Soekarno mendapati hubungan yang kurang baik dengan negara-negara blok barat.

Indonesia tercatat menjadi satu dari lima negara pemrakarsa terbentuknya ASEAN (Association Of South East Nations) yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan budaya di tingkat regional, Presiden Soeharto dianggap memiliki peran kuat sebagai pemersatu ASEAN seperti yang dikatakan Kishore Mahbubani dan Jeffery Sng dalam bukunya The ASEAN Miracle A Catalyst for Peace (2017) jika Presiden Soeharto mempunyai "extraordinary geopolitical wisdom" dengan tidak ingin mendominasi di ASEAN walaupun sebagai pemimpin negara terbesar di wilayah regional namun memberikan kesempatan bagi tiap negara untuk memimpin di ASEAN. Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan ekonomi berupa UU Penanaman Modal Asing pada tanggal 1 Januari 1967 sebagai upaya untuk menutupi utang-utang yang ditanggung Indonesia dampak dari UU tersebut adalah dibuka seluas-luasnya perusahaan asing yang ingin mendirikan perusahaannya di Indonesia atau membuka peluang bagi pemodal asing untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Dalam periode 1980-an Indonesia turut andil untuk menjadi tuan rumah dalam 30 tahun KAA (1985), menjadi ketua GNB (1992), masuk ke dalam APEC (1994); dan dalam Jakarta Informal Meeting (1988).

3. Presiden B.J. Habibie (1998-1999)

Setelah periode orde baru lengser pada tahun 1998 Indonesia memasuki masa reformasi, pada periode ini Indonesia lebih berfokus kepada menstabilkan urusan domestik yang terpukul karena terdampak dari inflasi yang melanda Indonesia sehingga urusan politik luar negeri bukan menjadi prioritas bahkan dalam tingkat regional dan perundingan bilateral Indonesia pasif untuk ikut serta tetapi bukan berarti tidak ada kebijakan strategis yang diputuskan pada periode Habibie.

Tercatat beberapa kebijakan strategis yang diputuskan pada masa transisi adalah Habibie memutuskan untuk mereferendum daerah Timor Timur pada tahun 1998 melalui perundingan dan pengambilan suara (voting) setelah Timor Timur bergabung dengan Indonesia pada tahun 1975. Di dalam negeri keputusan Presiden Habibie tersebut terjadi pro-kontra sampai puncaknya nota pertanggung jawaban Habibie di tolak oleh MPR dikarenakan hal tersebut. Sisi positif dari keputusan tersebut adalah Indonesia tidak pernah terganjal terkait dengan isu Timor Timur pada forum internasional dikarenakan konflik berkepanjangan dengan Fretilin yaitu kelompok pendukung kemerdekaan Timor Timur.

Politik luar negeri Indonesia pada masa Presiden Habibie difokuskan pada sektor pemulihan ekonomi karena inflasi yang melanda Indonesia pada saat tersebut sehingga upaya diplomasi saat itu diarahkan untuk investasi dan peningkatan di bidang ekspor dengan tujuan meningkatkan devisa negara. Upaya tersebut dapat terlihat ketika Presiden Habibie melalui Menteri Luar Negeri, Ali Alatas memutuskan untuk melakukan kerjasama dengan IMF guna mencari sokongan dana untuk mengatasi inflasi.

4. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (1999-2001)

Setelah Presiden Habibie berhasil mengeluarkan Indonesia dari inflasi tampuk pemerintahan berpindah kepada Gus Dur, sosok presiden yang memiliki pemikiran unik hingga konon dikatakan jika tidak semua orang dapat memahami pemikiran Gus Dur baik untuk menyelesaikan permasalahan politik di dalam negeri ataupun politik luar negeri. Keputusannya perihal arah politik luar negeri Indonesia kala itu terbilang cukup berbeda dibandingkan presiden-presiden sebelumnya. Tercatat Gus Dur adalah presiden pertama di era reformasi yang melakukan kunjungan ke luar negeri sebanyak 50 negara di lima benua hal tersebut mendapat kritikan tajam dari Ketua MPR dan Ketua DPR kala itu, Amien Rais dan Akbar Tandjung beserta musuh-musuh politik lainnya yang mengatakan jika hal tersebut merupakan pemborosan APBN karena tercatat biaya yang di keluarkan sebanyak Rp. 105 miliar dan abai terhadap permasalahan domestik, namun Gus Dur yang memiliki karakter kuat dan kerap bersitegang dengan parlemen dengan sering melontarkan humor-humor yang menyindir kinerja dari parlemen menanggapi hal tersebut dengan mengatakan jika mengupayakan pamor dan eksistensi Indonesia di dunia internasional jauh lebih mahal dari harga yang dikeluarkan dari APBN serta tujuan lain dari kunjungan tersebut adalah untuk menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia lagi, menginformasikan jika Indonesia dalam keadaan kondusif serta mencari dukungan dalam dunia internasional untuk meredakan konflik yang terjadi di Aceh demi  keutuhan NKRI.

Kebijakan lainnya yang dinilai cukup kontroversi adalah ketika Gus Dur berkeinginan untuk membuka kerjasama dengan Israel. Lantas kebijakan ini menimbulkan reaksi yang keras dari dalam negeri, namun menarik dibahas mengapa Gus Dur berkeinginan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel diantaranya: ketika Gus Dur menempuh pendidikan di Baghdad beliau kagum akan keilmuwan dari Yahudi yang didapatkan dari teman beliau Ramin yang berasa dari keturunan Yahudi, kemudian keberhasilan Yahudi dalam menarik simpati Amerika Serikat dan dunia. Namun ada anggapan jika Gus Dur tidak benar-benar serius ingin membuka kerjasama dengan Israel karena beliau paham jika hal tersebut sulit untuk di wujudkan di Indonesia. Hingga saat ini Indonesia tidak pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel meskipun di pihak Israel sangat menginginkan membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Pada periode ini juga banyak kebijakan yang mengatur mengenai kebijakan luar negeri Indonesia, salah satunya di sahkannya UU No 37 Tahun 1999 yang mengatur perihal  hubungan luar negeri.

5. Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Pada periode ini Indonesia masih dalam tahap memulihkan dan menstabilkan ekonomi pasca inflasi pada tahun 1998. Megawati dalam menerapkan kebijakan terkait politik luar negeri Indonesia masih bepegang teguh dengan asas "bebas-aktif" tetapi dalam pelaksanaannya berbeda dengan Gus Dur yang menerapkan rational actor yang membuat sistem birokrasi cenderung lemah dan membuat dirinya sebagai aktor utama dalam melakukan diplomasi, dalam pemerintahan Megawati mengembalikan tugas diplomasi kepada Menteri Luar Negerinya, Hasan Wirayuda dengan mengacu kepada UU No 37 Tahun 1999 tentang kunjungan luar negeri.

Salah satu kebijakan luar negeri yang dinilai penting adalah ketika Indonesia mengadakan hubungan bilateral dengan Australia yang membawa dampak positif bagi Indonesia di bidang pertahanan dan keamanan. Sebab pada saat itu Indonesia mendapat ancaman dan teror dari jaringan teroris yang melakukan pengeboman di Bali kemudian pemerintah Australia melakukan tindakan dengan melakukan perjanjian dengan Indonesia karena dinilai mengancam warganya disana dan kegiatan ekonomi yang dapat berdampak kepada perekonomian Australia.

Indonesia juga masih bekerja sama dengan IMF untuk memulihkan ekonomi Indonesia walau pada kenyataannya malah sebaliknya, perekonomian cenderung memburuk dan pemerintah menuntut IMF untuk bertanggung jawab akan hal ini dan akhirnya cukup puas akan solusi yang diberikan IMF meskipun solusi yang diberikan masih membebani di kemudian hari.  

6. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

 Dalam era beliau Indonesia dianggap sudah stabil dari segi ekonomi setelah perjuangan panjang dalam menstabilkan ekonomi sejak inflasi melanda Indonesia. Di era bapak SBY Indonesia kembali lebih aktif terlibat dalam kancah perpolitikan dunia. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerapkan politik luar negeri dengan poin "Seribu Teman, Nol Musuh" yang memiliki makna jika SBY menginginkan berkawan dengan siapapun dengan menciptakan suasana nyaman aman damai dan tidak ingin memiliki musuh ataupun menimbulkan kegaduhan dalam perpolitikan dunia.

Presiden SBY menerapkan diplomasi secara bilateral dan multilateral sekaligus dalam melaksanakan politik luar negeri yang disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi. Contoh dari penerapan diplomasi secara multilateral yang dilakukan adalah ketika Indonesia berperan sebagai a peace maker dengan menjaga keseimbangan dinamis diantara negara-negara yang sedang berseteru seperti Amerika Serikat, Cina, India, Jepang, dan Korea. Berperan sebagai problem solver dengan mengadakan ASEAN Labor Minister 2010-2015 Work Plan yang membahas tentang seputar ketenagakerjaan (Siswanto, 2019).

Sedangkan pendekatan secara bilateral dilakukan ketika Presiden SBY dan Presiden Amerika Serikat kala itu, Barack Obama bersepakat untuk menandatangani perjanjian di bidang kemitraan Strategis Komprehensif. Dengan Australia terdapat banyak kesepakatan yang sudah terjalin di bidang riset, pendidikan tinggi, pendidikan kejuruan, dan pelatihan. Indonesia juga melakukan diplomasi secara bilateral dengan Arab Saudi dan Malaysia mengenai tenaga kerja Indonesia dikarenakan kedua negara tersebut banyak terdapat tenaga kerja Indonesia yang bekerja disana (Siswanto, 2019).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun