Mohon tunggu...
Mahdisyahrial Bima B
Mahdisyahrial Bima B Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Seorang yang tertarik dengan segala hal yang terkait dengan Fauna sejak kecil

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Maraknya Finning Ikan Hiu Menghancurkan Ekosistem demi Khasiat yang Khayal

15 Juni 2022   07:42 Diperbarui: 15 Juni 2022   08:12 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Shark Finning atau perburuan sirip hiu menurut Spiegel, J. (2000) adalah praktik mengambil sirip dari hiu yang sudah mati dan membuang bangkainya kembali ke laut, atau memotong sirip ikan hidup hiu dan kemudian meninggalkan hiu tak berdaya di laut untuk tenggelam, mati kelaparan, atau dimakan predator lain. 

Bagi sebagian besar orang praktik pengambilan sirip ini bukanlah masalah besar sehingga sering tidak dihiraukan. Namun perlu diingat bahwa ikan tidak seperti cicak yang bisa menumbuhkan anggota tubuhnya yang hilang. 

Padahal semua spesies ikan termasuk hiu butuh siripnya untuk berenang dan bergerak dalam air. Ditambah lagi untuk sebagian besar spesies ikan hiu, tidak bergerak sama dengan tidak bernafas. Berbeda dengan ikan pada umumnya yang bisa bernapas dengan menggerakkan insangnya, hiu harus tetap bergerak. 

Cara hiu bernapas adalah dengan berenang ke depan sambil membuka mulutnya agar melewatkan air yang mengandung oksigen untuk ke insangnya, proses ini disebut ventilasi ram. Jadi dengan memotong alat gerak seekor hiu yaitu siripnya maka sama saja membunuh ikan tersebut.

Alasan dari praktik finning hiu adalah karena dalam budaya Asia terutama Cina siripnya dianggap memiliki khasiat tersendiri. Mereka menganggap dengan memakan bagian dari seekor hiu mereka bisa mendapatkan berbagai manfaat bagi kesehatan dan juga menganggap memakan sirip hiu sebagai simbol status karena harganya yang fantastis. 

Lalu karena kepercayaan ini tersebar luas dan banyak peminatnya maka nelayan yang ingin mendapat cuan berlomba-lomba menangkap hiu sebanyak mungkin. Diperkirakan perdagangan sirip hiu setiap tahunnya bernilai antara US$540 juta hingga US$1.2 miliar. 

Hal ini membuat sirip hiu menjadi salah satu boga bahari yang paling mahal di dunia, yang dihargai sekitar US$ 400 per kg. Padahal Sirip hiu menurut Jeffreys E. (2016) tidak memiliki rasa, nilai gizi apalagi manfaat bagi kesehatan. Justru memakan sirip hiu tidak sehat karena sirip hiu mengandung konsentrasi merkuri yang tinggi dan racun lainnya.

Banyak orang yang memandang sebelah mata akan masalah ini. Mereka menganggap bahwa ini adalah hal positif karena image mereka akan ikan hiu sudah dipenuhi akan ketakutan dan hal negatif terhadap spesies tersebut. 

Sebelum adanya film “Jaws” yang dirilis pada tahun 1975, masyarakat awam yang tidak mengetahui akan adanya spesies ini. Hanya pelaut dan orang-orang yang rutin berhubungan dengan samudralah yang mengetahui akan keberadaaan hiu dan mereka menggap mereka hanyalah seperti beruang laut. 

Asalkan mereka tidak diganggu maka mereka tidak akan mengganggu manusia juga. Namun setelah film terkenal tersebut rilis, image masyarakat terhadap hiu berubah drastis. 

Masyarakat kini melihat seekor hiu sebagai mesin pembunuh yang sangat menakutkan. Belum lagi sejak saat itu apabila ada berita penyerangan hiu maka media akan terus membesar-besarkannya. Tanya saja pada orang-orang yang takut untuk berenang di laut dan alasan mereka sebagian besar adalah “Aku takut sama hiu”. 

Berdasarkan data total gigitan hiu global pada tahun 2021 sejalan dengan rata-rata sekitar 72 insiden dalam lima tahun terakhir (2016-2020) dengan kasus gigitan tanpa provokasi berjumlah 73 dan jenis kasus lain yaitu gigitan yang diprovokasi sejumlah 39. Pasti timbul pertanyaan “kalau mereka bukan monster, mengapa masih banyak terjadi kasus serangan?” Jawabannya adalah karena mereka adalah hewan yang mudah penasaran. 

Apa yang kita lakukan bila kita penasaran pada suatu benda, kita memegang dan merabanya. Lalu bagaimana dengan hiu yang tidak mempunyai tangan? 

Maka satu satunya cara adalah dengan mendekati objek dan menggigitnya. Perlu diingat bahwa kita tidak masuk dalam menu seekor hiu, mereka biasanya memangsa ikan serta mamalia laut seperti singa laut dan anjing laut. Sebuah insiden di beberapa tempat bukan berarti kita harus mencap buruk satu spesies. Namun kita justru menghabisi populasi hiu demi manfaat yang khayal tadi. 

Penurunan jumlah hiu di laut sangat berdampak pada ekosistem di laut. Bayangkan saja menurut website Nature.com oleh Pacoureau, N dkk (2021) dari total populasi hiu di tahun 70an, kini hanya sekitar 30% yang tersisa dan jumlah tersebut terus menurun. Jika ikan hiu punah, maka ikan karnivora yang berada di tingkat bawah hiu pada rantai makanan akan bertambah banyak. Dengan begitu, jumlah ikan-ikan kecil makanan ikan karnivora, akan menurun. 

Selain itu, kesehatan karang juga akan terganggu. Hal ini disebabkan oleh alga yang semakin melimpah karena tidak ada ikan-ikan kecil yang memakannya. ketidakseimbangan populasi di rantai makanan akan menghancurkan ekosistem dan butuh waktu lama agar mencapai titik seimbang lagi. 

Namun masih perlu diingat bahwa hiu bukanlah makhluk pembunuh maupun makhluk yang tidak berbahaya bagi kita. Hiu tetaplah adalah seekor hewan yang bergerak berdasarkan insting alami mereka.. Kemungkinan besar jika seseorang tidak mengganggu dan juga tidak panik maka mereka juga tidak akan mengganggu mereka. 

Sebagai manusia yang berpendidikan tentu kita memiliki kewajiban untuk menyelesaikan masalah ini. Kita jangan hanya melindungi spesies hewan yang kita cap lucu dan “gemoy”. Banyak spesies lain yang bahkan lebih penting untuk lingkungan hidup terbunuh di sekeliling kita. 

Melestarikannya seharusnya sudah bukan menjadi pertanyaan perlu atau tidak. Sudah banyak spesies yang hilang karena kerakusan manusia. Akan sangat menyedihkan apabila kita kehilangan spesies ikan yang sangat penting ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun