Shark Finning atau perburuan sirip hiu menurut Spiegel, J. (2000) adalah praktik mengambil sirip dari hiu yang sudah mati dan membuang bangkainya kembali ke laut, atau memotong sirip ikan hidup hiu dan kemudian meninggalkan hiu tak berdaya di laut untuk tenggelam, mati kelaparan, atau dimakan predator lain.
Bagi sebagian besar orang praktik pengambilan sirip ini bukanlah masalah besar sehingga sering tidak dihiraukan. Namun perlu diingat bahwa ikan tidak seperti cicak yang bisa menumbuhkan anggota tubuhnya yang hilang.
Padahal semua spesies ikan termasuk hiu butuh siripnya untuk berenang dan bergerak dalam air. Ditambah lagi untuk sebagian besar spesies ikan hiu, tidak bergerak sama dengan tidak bernafas. Berbeda dengan ikan pada umumnya yang bisa bernapas dengan menggerakkan insangnya, hiu harus tetap bergerak.
Cara hiu bernapas adalah dengan berenang ke depan sambil membuka mulutnya agar melewatkan air yang mengandung oksigen untuk ke insangnya, proses ini disebut ventilasi ram. Jadi dengan memotong alat gerak seekor hiu yaitu siripnya maka sama saja membunuh ikan tersebut.
Alasan dari praktik finning hiu adalah karena dalam budaya Asia terutama Cina siripnya dianggap memiliki khasiat tersendiri. Mereka menganggap dengan memakan bagian dari seekor hiu mereka bisa mendapatkan berbagai manfaat bagi kesehatan dan juga menganggap memakan sirip hiu sebagai simbol status karena harganya yang fantastis.
Lalu karena kepercayaan ini tersebar luas dan banyak peminatnya maka nelayan yang ingin mendapat cuan berlomba-lomba menangkap hiu sebanyak mungkin. Diperkirakan perdagangan sirip hiu setiap tahunnya bernilai antara US$540 juta hingga US$1.2 miliar.
Hal ini membuat sirip hiu menjadi salah satu boga bahari yang paling mahal di dunia, yang dihargai sekitar US$ 400 per kg. Padahal Sirip hiu menurut Jeffreys E. (2016) tidak memiliki rasa, nilai gizi apalagi manfaat bagi kesehatan. Justru memakan sirip hiu tidak sehat karena sirip hiu mengandung konsentrasi merkuri yang tinggi dan racun lainnya.
Banyak orang yang memandang sebelah mata akan masalah ini. Mereka menganggap bahwa ini adalah hal positif karena image mereka akan ikan hiu sudah dipenuhi akan ketakutan dan hal negatif terhadap spesies tersebut.
Sebelum adanya film “Jaws” yang dirilis pada tahun 1975, masyarakat awam yang tidak mengetahui akan adanya spesies ini. Hanya pelaut dan orang-orang yang rutin berhubungan dengan samudralah yang mengetahui akan keberadaaan hiu dan mereka menggap mereka hanyalah seperti beruang laut.
Asalkan mereka tidak diganggu maka mereka tidak akan mengganggu manusia juga. Namun setelah film terkenal tersebut rilis, image masyarakat terhadap hiu berubah drastis.
Masyarakat kini melihat seekor hiu sebagai mesin pembunuh yang sangat menakutkan. Belum lagi sejak saat itu apabila ada berita penyerangan hiu maka media akan terus membesar-besarkannya. Tanya saja pada orang-orang yang takut untuk berenang di laut dan alasan mereka sebagian besar adalah “Aku takut sama hiu”.